Jumat, 26 Februari 2010

Salon, Fashion Show, Muludan

Melihat peringatan maulid nabi di beberapa stasiun TV, ingatanku langung meluncur ke masa lalu saat duduk di bangku SD hingga SMA di kampung gersang di balik perbukitan. Petang itu aku sibuk mendandani puluhan anak perempuan. Mereka membawa sarung dan kerudung. Satu persatu teman sebayaku ini aku make over. Satu beres, ganti yang lain. Acapkali mataku menatap jam dinding kayu yang dipajang di gebyok (dinding kayu). Saat SD aku tinggal di rumah gebyok milik mbah. “Waduh, wis jam pitu (sudah jam 7 malam),” kataku dalam hati. Aku pun kian tangkas mendandani teman-temanku.
Sekitar 15 menit kemudian urusan wardrobe beres. Rasa puas langsung menyebar berpendar. Rasanya aku seperti fashion stylist. Bergegas, aku dan pasukanku, gadis kecil berusia 10-13 tahun berjalan beriringan ke masjid jami’ kampung, 400 meter dari rumah mbah. Yah, mirip-mirip fashion show lah. Langkah kami beraturan. Mencoba tampil anggun bak di panggung. Kadang terdengar suitan anak laki-laki yang melihat rombonganku melintas. Sesama anak-anak dilarang suit-suitan…:p Setiba di halaman masjid, kami langsung menempati posisi strategis, menerima tamu.
Malam ini adalah muludan (peringatan maulid nabi). Muludan disambut suka cita, baik anak-anak maupun orang tua. Bagi kami, anak-anak, beberapa hari sebelum muludan pun kami sudah membicarakannya. Bahkan, tak sabar menunggu muludan tiba.
Saat muludan, masjid di kampungku yang biasanya pelit cahaya, tiba-tiba menjadi terang benderang. Lampu neon 20 watt dari tenaga diesel dipajang berderet. Suasana lebih meriah dengan alunan suara Muthoharoh, penyanyi Qasidah Nasida Ria, dari beberapa speaker kotak berukuran segede gaban ditumpuk menjangkung, diletakkan di pojok depan, mirip penerima tamu….(nasib-nasib….masak kami punya kembaran speaker….)
Entah kenapa, tiap melihat speaker hatiku senang. Pasalnya, speaker, di kampungku kami menyebutnya salon (bukan salon meni pedi ya…), identik dengan keramaian. Maka, wajar jika anak kecil seperti aku bungah tiap ada suara salon. Tetangga ngawinin anak, menyewa salon. Punya hajat nyunatin anak, pasang salon juga. Paling kalau mau agak wah ditambah TV Video. Itu sudah jempol.
Pokoknya, kalau mau ramai harus pakai salon atau sound system. Salon ini lebih modern ketimbang pengeras suara masjid. Sebelumnya, warga kampung memasang speaker sejenis pengeras masjid (kami menyebutnya speker, mungkin maksudnya spiker kali ye…) di atas batang bambu tiap ewoh (punya gawe). Era speker di kampungku berakhir menjelang 90-an. Sama seperti salon, anak-anak akan riang begitu mendengar speker mengalun. Lagunya pun, tak jauh dari Nasida Ria. Kalaupun belok, paling ke dendang Bang Haji Rhoma. Nggak ada yang lain. Jangan berharap lagu mellow-nya Betharia Sonata. Perdamaian perdamaian…Desamu Desaku…Desa yang indah permai…. Bak nyetrum, kepalaku langsung manggut-manggut begitu mendengar lagu kasidah itu…:p
Pergantian speker menjadi salon dimulai begitu ada tetangga kami, namanya Lek Jamiri menyewakan seperangkat kotak pengeras suara berwarna hitam itu. Orangnya pendek, wajahnya pas-pasan. Tapi senyumnya selalu pecah, memamerkan giginya yang seolah menjadi daya tariknya. Sekarang pria murah senyum itu sudah almarhum. Tiap ada tetangga punya gawe, dengan senang hati Lek Jamiri mendorong salon dengan gerobak. Kadang, kalau Lek Jamiri sedang bertugas di tetangga, aku mendekatinya. Dengan muka memelas, aku request lagu. “Lek, mbok sesekali diputar lagu pop,” rajukku. “Walah, ra ono nduk (nggak ada nduk),” jawabnya. Akhirnya aku pasrah begitu ia menyetel lagu Evie Tamala.
Pertama kali melihat kotak hitam bersuara ngebas deng deng deng itu, kami anak-anak kecil langsung lompat-lompat. Persis seperti saat kami mendapat uang recehan dari orang Cina yang datang ke makam. Maklum, di desa kami banyak kuburan Cina. Tiap kaum Tionghoa datang berziarah, aku dan teman-teman kecilku membuntuti mereka. Pasalnya, biasanya mereka membawa uang recehan yang akan dibagikan ke anak-anak. Kami pun mengikuti kalangan kulit putih ini sampai di bong (sebutan kuburan Cina di kampungku). Begitu tahu recehan sudah ada di tangan, kami tak langsung bubar, tapi menunggui mereka sampai pulang.
Nah, malam ini salon Lek Jamari siap mensukseskan muludan. Maidoh dari Pak Kyai pun bisa dinikmati seluruh warga kampung dan tamu dari desa sebelah. Saat melintas di depan deretan speaker hitam ini, siap-siap saja dada akan berdebar-debar. Bukan seperti orang yang lagi jatuh cinta, tapi lebih mirip kejatuhan beribu ton batu. Rasanya der der der der.
Laiknya anak menginjak remaja pada umumnya, aku dan teman-temanku sesekali lirik sana sini sambil mempersilakan tamu yang datang. Siapa tahu ada yang lumayan. Ehem ehem…..Muludan menjadi momen yang kami tunggu. Karena di sinilah kami remaja putri bisa show off. Bahkan, ada temanku yang dekat dan nikah gara-gara candaan waktu muludan. Saat teman-temanku cekikikan, aku biasanya hanya mesem. Jaim ceritanya. Herannya, seleraku sangat berbeda dengan teman-teman ABGku ini. Entahlah, di mataku tak ada yang menarik. Padahal, wajahku biasa-biasa saja. Tapi punya kriteria cowok idaman di atas rata-rata haha. Ini namanya tak tahu diri. Atau tepatnya tak pernah berkaca. Kalaupun ngaca, wajahku nggak begitu jelas sih karena cerminnya buram….:p
Sekitar pukul 20.00 wib acara dimulai dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an dan sambutan panitia. Dilanjutkan dengan uraian dari kepala dusun, lurah, dan camat. Untunglah ketua RT dan RW tidak ikut-ikutan nimbrung memberi sambutan. Walahhh rentetan sambutan sepertinya lebih panjang daripada ceramah mbah kyai. Bagiku, suara mereka seperti angin. Tak kudengar, hanya lewat sesaat. Lelah mendengarkan pidato dari pemuka desa, acara kemudian diselingi break. Hore...ini adalah waktuku dan teman-temanku. Saatnya kami unjuk kebolehan. Di sini kami tidak menyanyi kasidah, berpuisi, atau menjadi saritilawah. Bukan. Kami bergerak lincah di antara pengunjung muludan, sementara tangan kami sigap membagi bentel (nasi dibungkus daun pisang dengan lauk seadanya) yang ditaruh dalam rantangan bambu. Saat inilah kami seperti bintang yang bersinar. Mata pengunjung tak lepas mengarah ke kami. Bukan terpana pada paras kami, tapi mata mereka kelaparan melihat bentel yang kami tenteng.
Acara bagi-bagi bentel yang berlangsung 20 menit, biasanya heboh. Acapkali kami harus sedikit tarik urat kalau ada ibu-ibu yang minta jatah lebih dari satu. Kejadian ini sering terjadi. Akibatnya, tidak semua pengunjung kebagian bentel. Usai membagi bungkusan nasi, kami kembali ke posko makanan. Biasanya di sana berkumpul remaja putra dan putri. Sesekali guyonan terdengar. Saat seperti inilah aku memilih menyelinap kabur keluar. “Mendingan mendengarkan maidoh dari mbah kyai,” kataku dalam hati.
Aku kembali ke tempat jamaah perempuan yang duduk lesehan di plastik terpal. Sembari selonjor, aku menyimak uraian dari mbah kyai. Sesekali kami sholawatan. Sejam kemudian, sekitar jam 22.00 wib acara usai. Kami pun berduyun-duyun keluar dari kompleks masjid menuju rumah masing-masing. Saat berjalan pulang, aku menantikan muludan tahun depan. Membayangkan akan memakai baju kurung, sarung dan kerudung warna apa. Juga baju yang akan dikenakan pasukanku. Ah, peringatan maulud nabi yang seharusnya untuk mengingat sejarah Rasulullah SAW, dalam otakku telah berganti menjadi ajang fashion show. Duh, ampuni aku kanjeng nabi. Sungguh, bukan maksud hati untuk melupakanmu. Tapi bagaimana lagi, di kampungku jarang ada pesta. Satu-satunya keramaian yang ada ya pas maulid nabi…Speaker masjid masih mengalun…Sholatullah Salamullah Ala thoha Rosulillah….

Rabu, 24 Februari 2010

Semangat Mbah...Rosa!!!

"Nduk...pepaya..." Suara itu...aku surprise mendengarnya. Terlebih di tengah belantara ibukota. Tiba-tiba ingatanku berlari puluhan kilo ke kampung halaman di balik perbukitan. Seraut wajah langsung membayang. Ya,ibu yang biasa memanggilku nduk. Aku memalingkan wajahku ke arah laki-laki tua yang mendorong gerobak sayur. Rambutnya yang ditutupi topi caping memutih, tubuhnya kurus, dan gumpalan daging yang membalut tubuhnya ngelinting.

Senyumnya merekah. Memamerkan giginya yang ompong. "Ayo beli pepaya nduk," ujarnya. Aku kembali memastikan dia memanggilku nduk. "Ayo nduk, dipilih," katanya sumringah. "Pinten pake?" "Wis limang ewu wae nduk sing cilik. Yen sing gede pitung ewu." Kalo lokasinya dekat rumah, pasti aku beli yang besar. Tapi sekarang...Aku berada di Menteng. Membawanya butuh perjuangan. Kalau ingat kata perjuangan kok otakku langsung klik ke lagu bang haji ya..."Perjuangan..." hehehe Melihat aku senyum senyum sendiri, lelaki senja itu ikut terkekeh.

Eh, aku belum memutuskan pilihan. "Pake kulo tumbas ingkang alit mawon," jawabku mantap. "Ora iki wae nduk?" tanyanya. Aku tahu maksud pake. Kalau beli buah yang besar lebih untung, karena beda harganya tipis. Aku menggeleng senyum. "Pake, regane mboten saget kurang to?" tawarku. "Wis patang ewu wae." Kuulurkan uang sepuluh ribuan. "Iki susuke nduk," kata laki-laki berusia hampir 80 tahun asal Tegal itu. Entah kenapa, setelah menawar, tanganku malah enggan menerima kembalian. "Kangge pake mawon," kataku tersenyum. "Waduh nduk, maturnuwun nggih," ucapan terima kasih tulus meluncur dibarengi sebaris doa.

"Arep ning endi nduk?" tanyanya. "Bade wonten stasiun pake." "Ati-ati yo nduk," katanya mendorong gerobak yang isinya tinggal pepaya dua buah dan sekantong plastik jagung. "Pake daleme pundi?" kataku menjajari langkahnya. "Tanah Abang nduk," balasnya. Wowww...ternyata mbah Maridjan eh Mbah Ngarijan ini mendorong gerobak sayuran dari Tanah Abang hingga Menteng. Orang dulu memang kuat-kuat. Seakan membaca pikiranku, mbah Ngarijan pun menegaskan," Aku nggowo gerobak soko Tanah Abang, Nduk." Wah...si mbah ini otot kawat balung wesi. Kemana-mana kuat nggendong gerobak...hehehe Bener-benar pantas menjadi saudaranya Mbah Maridjan....Rosa...rosa rosa....Aku juga rosa lho mbah...kemana-mana bawa tas...:p

Ahaaa....semangat kehidupan itu kembali menyala...dari tubuh renta menjalar ke ragaku. Terima kasih Mbah...Terima kasih Tuhan Penjaga Hati Pemberi Inspirasi...:)

Selasa, 23 Februari 2010

Semangat

Mataku membuka dari tidur semalam
Dadaku seperti kejatuhan beribu beban
Beragam rasa sepertinya mengeram
Ingin segera aku muntahkan

"Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan," keluhku
Tubuhku diam memaku
Hatiku mendadak kelu
Pedih menjalar ke seluruh ragaku

Pagi, harusnya senyumku mengembang untukmu
Seperti sinar mentari yang memberi terang
Bukan diriku yang dirundung ratap mendung nan gelap

Duhai semangat
Di mana engkau bertahta
Mengapa tiba-tiba lenyap
Meninggalkan aku terkapar tak berdaya
Pasrah pada pengkerdilan tanpa berbuat apa-apa

Jakarta, 22 Februari 2010