Minggu, 21 Juni 2009

Ikhlaskan, Sekalipun Cuma Ucapan Thank You


Dadaku mendadak sesak, penuh, dan bergemuruh. Sesaat setelah Vera (bukan nama sebenarnya) keluar dari pintu pagar rumahku. "Koq dia ga tahu diri banget ya....makasih aja ngga," batinku berkata. Tiba-tiba Vera menoleh ke arahku. "Ah mungkin dia mau ngucapin makasih kali," harapku. "Duluan ya mba, Assalamu'alaikum..." "Waalaikumsalam," balasku.Aku pun masuk rumah dengan nada kecewa.
"Kenapa nduk," tanya ibuku. "Kecewa Bu, masak dikasih duit Rp 800 ribu, ngucapin makasih aja nggak," ujarku lirih. "Sudah ikhlaskan saja nduk," nasehat ibuku. Akupun berusaha mengikhlaskan bantuanku. Cuma, sudut hatiku tetap tidak terima. "Untuk mendapatkan uang Rp 800 ribu kan ga gampang," protes batinku.
Aku berusaha melupakan kejadian itu.
Beberapa bulan kemudian, saat aku berada di angkutan umum. "Mba, Intan lagi sakit, anak-anak lagi kurang enak badan," demikian bunyi sms dari Ratih (bukan nama sebenarnya). Membaca sms itu, aku baru tersadar kalo saat itu aku belum ngirim uang ke dia. Ratih, ibu dua orang anak balita di Surabaya. Perempuan berusia 27 tahun itu kumpul bareng orang tuanya di sebuah rumah sempit di gang kecil di Kota Buaya, bareng dengan saudaranya yang lain yang telah menikah juga. Jadilah rumah mungil itu dihuni oleh beberapa keluarga.
Ratih menikah dengan tetanggaku. Malangnya, kala ia hamil 3 bulan, dan anak pertamanya berusia setahun, suaminya yang menjadi buruh pabrik itu meninggal dunia. Sejak suaminya meninggal, aku berusaha membantunya tiap bulan. Tiap menerima bantuan, tak lupa Ratih menelponku mengucapkan terima kasih dan mengabarkan perkembangan buah hatinya, Indy dan adiknya yang kini telah lahir, Intan namanya.
Karena kesibukanku, aku lupa lagi mengirim uang. Baru empat hari setelahnya, aku ingat dan berniat mentransfer uang. Ternyata, aku ga nyimpan no rek-Ratih di Hpku. Akhirnya, aku nge-sms menanyakan norek-nya. Ratih pun membalas smsku tanpa ada kata terima kasih di situ. Aku pun maklum. Dan beberapa hari setelahnya juga tidak ada sms ataupun telepon ucapan terima kasih.
Demikian juga kala aku membantu kaum dhuafa lain. Harapan balasan itu kubuang jauh-jauh. Karena itu, aku sangat surprise, kala memberikan sedekah ke Mbah Sulami, nenek sebatang kara yang jualan minuman di trotoar Sudirman dekat Pasar Benhil. Uang yang kuberikan tak seberapa. Tapi, subhanallah…ucapan terima kasihnya sangat tulus. Ia pun dengan senang hati meminta aku mengambil minuman dagangannya. Kadang aku mau, kadang juga ga. Karena memang ga haus…..:)
Setelah berusaha ikhlas, alhamdulillah, hatiku kian lapang dan tidak berharap ucapan terima kasih. Lambat laun, ucapan thank you itu kulupakan. “Allah Maha Tahu,” demikian bisik hatiku. Bahkan, aku berusaha untuk tidak bertemu langsung dengan penerima bantuan. Hatiku terasa lapang setelahnya....
Dari rentetan kejadian itu, aku belajar untuk menghargai pemberian orang. Sekecil apapun pemberian itu. Aku terbiasa mengucapkan terima kasih saat menerima langung dan setelahnya berusaha mengirimkan sms berisi ucapan terima kasih. Aku berusaha menghargai niat baik orang lain yang telah memberiku. Pemberian adalah sebuah bentuk perhatian mereka akan keberadaanku.
“Dua kata paling penting di dunia: TERIMA KASIH dan MAAF. Satu kata yang paling tidak penting: SEANDAINYA…..

Sabtu, 20 Juni 2009

Semangat Seorang Penjaja Roti


"Mbak,kok ga keliling," tanyaku pada pedagang roti keliling yang biasa ngider di stasiun Tebet. "Tuch... di seberang ada tramtib," ujarnya melihat tramtib yang berada di peron jurusan Bogor. Alhasil, Rabu pagi ini (22/4), perempuan penjaja roti bernama Tutik itu hanya duduk manis di bangku penumpang KA sambil sesekali menawarkan roti ke penumpang yang melintas di depannya.
"Sekarang jam berapa sih mbak?" tanya perempuan asal Purwodadi dengan logat Jawa yang masih kental. "Jam 08.00 WIB mbak, kenapa?" "Biasanya mereka (tramtib) ke sini jam 9 pagi," jelas Tutik. "Kalau mereka ada di sini, saya ya hanya diam gini. Nurut saja lah, ntar kalau keliling malah ditangkap," keluh Tutik. "Pernah ditangkap?" "Ga pernah. Saya selalu mematuhi perintah mereka. Kalau disuruh keluar stasiun ya keluar. Kadang saya juga menawarkan roti ke para petugas itu. Lagian saya ini niatnya nyari rezeki halal. Mereka menjalankan tugasnya, saya juga kerja," jelasnya kalem.
"Dari dulu jualan roti?" "Nggak mbak, tadinya saya babby sitter. Setelah nikah milih dagang roti. Biar ga tergantung pada orang, waktunya bebas, sekalian bisa ngawasin anak," ujarnya. Tiap hari, Tutik berkeliling dengan sepedanya menawarkan roti. "Saya jualan di sekitar rumah saya,tuch di sebelah situ," Tutik menunjuk lokasi rumahnya yang berada di sebelah selatan stasiun Tebet.
Jam 07.00 pagi Tutik mulai ngasong di stasiun Tebet. "Sepeda saya titipin dekat stasiun," ujarnya. Biasanya, jam operasi jualan roti di stasiun berlangsung hingga pukul 09.00 WIB. "Kadang juga cuma sampai jam 08.00 WIB seperti sekarang karena sudah ada tramtib," jelasnya.
"Jualannya hanya sampai jam 09.00?" "Ya nggak lah mbak, pagi sampai jam 11.00 WIB, tapi ga di stasiun lagi, keliling naik sepeda di pemukiman penduduk," ujarnya. "Terus?" "Nanti jam 17.00 WIB saya jualan lagi sampai jam 20.00 WIB kadang di stasiun kadang juga ngider," jelasnya.
Dalam sehari, Tutik mampu menjual 20-an bungkus roti tawar dan 30-an roti manis. "Tapi kadang bisa lebih dari itu,"ujarnya. Dengan tren penjualan seperti itu, sehari Tutik bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu untuk dibawa ke rumah. "Untuk mbantu suami dan membiayai sekolah anak," ujar Tutik tersenyum.
Nggak berselang lama, petugas tramtib di peron seberang memberi kode agar Tutik menyingkir dari stasiun. "Mbak, saya pergi dulu ya. Makasih," ujarnya buru-buru mengambil nampan rotinya sambil memberikan dua roti mamis yang aku beli. Melihat semangatnya, aku jadi teringat spirit ibuku, mbakku dan jutaan perempuan lain di negeri ini yang berjuang untuk keluarga dan anak-anaknya menjadi generasi masa depan.