Senin, 31 Agustus 2009

Rumah Sehat Dhuafa, Bukti Cinta Pada Sesama


Melihat iklan Rumah Sehat Dhuafa, program rumah sakit gratis bagi kaum papa dari Dompet Dhuafa dan Tabung Wakaf Indonesia, aku langsung teringat dua hal. Pertama,memperoleh pengobatan yang layak adalah hak tiap orang, bukan hanya milik orang berpunya. Akupun langsung teringat kondisi temanku Yulia, yang kini terbaring lumpuh. Andaikan keluarganya memiliki cukup dana, kondisinya insyaAllah tidak separah itu. Kedua, mimpiku untuk memiliki sebuah balai pengobatan gratis bagi kaum kurang beruntung.
Sebenarnya, Dompet Dhuafa telah memiliki balai pengobatan gratis bernama Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) yang berlokasi di Jl. Ir. H Juanda, Ciputat, Tangerang. Namun, kapasitas dan areanya memang masih terbatas. Sungguhpun demikian, pelayanan rumah sakit ini profesional.Hal ini dirasakan sendiri oleh salah seorang temanku. Sebut saja namanya Winda. Sewaktu mau melahirkan anak pertamanya, Linda melahirkan di LKC. Alasan Linda melahirkan anak di situ, karena ia tidak memiliki uang cukup untuk melahirkan di bidan. Apalagi di rumah sakit. Terlebih lokasi kontrakannya tidak jauh dari rumah sakit itu.
"Suster dan dokternya ramah mbak, kita dimanusiakan, padahal tidak bayar, gratis," cerita Winda kala aku menjenguknya. Bahkan, suster dan dokternya dengan sabar membantu proses kelahiran Winda. "Padahal, kata dokter, aku sebenarnya susah melahirkan normal, karena tulang panggulku kecil," ujarnya. Alhamdulillah, akhirnya temanku itu bisa melahirkan bayi laki-laki secara normal.
Karena balai pengobatan tsb diperuntukkan bagi kalangan kurang mampu, wajar jika para pasien diminta kartu keterangan kurang mampu kala berobat di LKC, termasuk temanku itu. "Untuk berobat di LKC aku harus membawa surat bukti keterangan kurang mampu," jelasnya. Winda pun sangat berterima kasih pada LKC, juga suster dan perawatnya.
Testimoni dari temanku Linda, menambah keyakinanku pada profesionalitas manajemen rumah sehat dhuafa yang kini tengah dibangun di daerah Jampang, Kemang, Parung, Bogor, Jawa Barat. Yang kian menguatkan keyakinanku, aku dulu juga pernah merasakan jasa Dompet Dhuafa dalam perjalananku menuntut ilu. Tiap bulan aku menerima beasiswa prestasi dengan nominal Rp 250 ribu.Dengan uang beasiswa itu, ibuku yang seorang janda di kampung tanpa pensiunan, tidak terbebani oleh anaknya yang tengah kuliah di ibukota.Selain mendapat uang, aku juga memperoleh tambahan skill dengan adanya training yang kerap diadakan Dompet Dhuafa Republika.
Sehingga, ketika aku melihat Iklan Wakaf Tunai Terpadu untuk rumah sehat dhuafa, aku pun tertarik ambil bagian di dalamnya, meski dengan nominal yang tak seberapa. Terlebih, saat ini aku belum mampu mewujudkan mimpiku. Usai mentransfer uang wakaf, kita akan diberi ID card dari Dompet Dhuafa. Selain itu, kita juga akan mendapat sertifikat wakaf tunai. Alhamdulillah, aku masih bisa berpartisipasi, meski nilainya masih mini.
Bagi bapak, ibu, sahabat semua yang ingin berinvestasi dengan bagi hasil dari Sang Pemilik Alam Semesta, silakan menelpon ke kantor DD Republika (021)7416050, atau kunjungi situs Dompet Dhuafa Republika. Sahabat juga bisa mengirim wakaf tunai dengan mentransfer ke BMI Cabang Pondok Indah Norek 303.0017315, atau BCA Cab. Pondok Indah Norek. 237.304.5454 a.n Dompet Dhuafa Republika.

Rabu, 26 Agustus 2009

Terima Kasih atas Doa dan Support untuk Yulia


"Teman-temanmu baik banget San, padahal mereka belum kenal aku. Tolong sampaikan makasih ke mereka ya," demikian bunyi pesan pendek Yulia diHPku, begitu kukasih tahu banyak teman-teman FB yang mendoakan kesembuhannya setelah kisahnya ku-share di Facebook.
Saya juga mengucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman budiman yang telah memberikan doa kesembuhan dan sudi membaca kisah teman kuliahku yang sedang terbaring lemah tak berdaya, Yulia. Perempuan yang tengah berjuang melawan penyakitnya itu sangat terharu atas kepedulian teman-teman semua. Untaian doa dan perhatian teman-teman menjadi penyejuk hati dan support untuknya.
Yulia pun kian terharu, kala kukasih tahu ada teman FB yang membantunya."Subhanallah, temanmu baik banget mau peduli aku. Padahal belum kenal aku. Tolong sampaikan ucapan terima kasihku kepada temanmu itu ya San. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian dunia dan akhirat," ujarnya.
Teman-teman, sebuah perhatian untuk saudara kita, betapapun sangat kecil bentuknya, sangat bermakna. Doa teman-teman semua sangat dinantikan oleh teman saya Yulia yang saat ini lumpuh tak berdaya melawan ganasnya kanker yang dideritanya. Sekali lagi terima kasih atas perhatian teman-teman semua.

Support Untuk Yulia



Tubuh yang tergolek lemah di kasur kapuk lusuh dan usang itu nyaris tinggal kulit dan tulang. Kakinya yang mengecil, berminyak dan kehitaman. ”Itu minyak, obat dari Pak Ustadz San,” ujarnya tersenyum. ”Rabbi....,” sebutku dalam hati, aku shock, kala melihat batok kepalanya mengecil, matanya cekung dan bentuk mukanya sangat menyedihkan. Bahkan, aku tidak mengenalinya lagi. Tuhan, sedemikian parahnya kondisi temanku ini.
Gadis malang yang kini tengah lumpuh tak berdaya itu bernama Yulia, teman kuliahku di Sastra UI. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Karena, sebelum aku menjenguknya, aku sering ngobrol dengannya by phone. Ia selalu ceria. Bahkan, ia tak pernah menyinggung soal penyakitnya jika tidak aku minta. Yulia lebih banyak cerita soal hal yang menyenangkan sebelum ia jatuh sakit. Aku pun mengira kondisinya tidak menyedihkan seperti ini. Hatiku teriris.
Aku kemudian keluar kamar sederhana itu untuk bersalaman dengan ibunya Yulia. ”Rabbi...,” hatiku kembali trenyuh. Ibunya Yulia ternyata tidak bisa melihat. Sebelum bertandang ke rumahnya, Yulia pernah cerita jika ibunya buta. Ibunya tidak bisa melihat lagi ketika Yulia masih kuliah. Sementara bapaknya sudah sepuh dan tidak bekerja lagi. ”Dulu Bapak sopir San,” ceritanya. Saat ini, untuk membiayai kebutuhan sehar-hari, keluarganya dibantu salah satu kakaknya. ”Alhamdulillah, ada satu kakakku yang bisa membantu,” ujarnya kepadaku suatu ketika.
Rasa iba dan sedih, sekejap berganti dengan salut setelah melihat keikhlasan hati perempuan sepuh berjilbab hitam itu. Bu Sairah, namanya. ”Beginilah kondisi kami nak Susan. Alhamdulillah. Ayo duduk, duduk. Terima kasih sudah datang menjenguk Yulia. Mau minum apa,” ujarnya hangat ke aku dan Epi, temanku. ”Ibu, tidak usah repot ya,” ujarku hampir berbarengan dengan Epi.
Kami pun kembali ke kamar Yulia. ”Gimana kondisimu Yul,” tanyaku. ”Alhamdulillah...baikan. Untung kalian datang ke sini tubuhku dah bersihan,” ujarnya tersenyum. ”Loh memangnya kenapa?” tanyaku. ”Nih habis ambrol,” jelasnya. ”Maksudnya?” tanyaku lagi. ”Ya, tiap berapa hari, keluar nanah dan darah dari pori-pori kulitku. Kalau melihatnya pasti jijik. Alhamdulillah, kalian datang pas aku bersihan,” jelasnya.
Sesaat kemudian, ayahnya Yulia masuk kamar mengantarkan minuman dan kacang goreng. ”Ayo diminum dan makan kacangnya mbak,” ujarnya. ”Makasih Pak,” jawab kami serentak kayak pasukan militer....:p ”Subhanallah, kala dalam kesempitan dan kesusahan, mereka masih mau berbagi dan menjamu tamu,” kataku dalam hati. Tak berapa lama, gantian ibunya Yulia, minta kipas angin dinyalakan saja. ”Kayaknya panas, kipasnya tolong dinyalakan saja dik,” pintanya sambil menggendong keponakan Yulia. ”Ga kok bu, makasih,” balasku dan Epi.
Kami pun kembali ngobrol. Yulia tetap semangat. Tidak tersirat kekesalan dan keputusasaan di wajah Yulia atas ujian berat yang menderanya. Karena tak ingin membuatnya sedih, aku pun tak banyak nanya soal penyakitnya. Justru ia mengajak kami bercanda dan ngobrol soal teman-teman kuliah dulu. Acapkali tawa Yulia lepas. Sesekali ia juga melucu. ”San, kalau kisahku dibikin buku, bisa-bisa terus bersambung deh, ga ada habisnya. Kalau difilmkan, juga akan berseri-seri,” ujarnya tertawa. Kami pun tertawa mendengarnya.
Suatu siang di tahun 2004, saat Yulia baru enam bulan bekerja di perusahaan swasta, badannya panas dan menggigil gemetaran. ”Aku kira cuma ga enak badan San,” ujarnya. Namun, saat berada di angkot dalam perjalanan pulang kantor, ia mendapati ada yang aneh dengan jari kakinya. ”Ki, kenapa jari-jari kakiku membengkak?” katanya kepada Kiki, teman kuliah yang kebetulan sekantor dengannya. Mereka pun bingung dan khawatir. Sesampai di rumah, Yulia mengobati jari kakinya seadanya.
”Besoknya San, tiap kena sinar matahari, jari kaki dan tanganku membengkak dan merah,” ujar Yulia. Sejak itu, kondisi Yulia kian memburuk. Hingga suatu siang, dari jari kakinya keluar nanah. ”Jari kakiku yang bengkak-bengkak pada pecah mengeluarkan nanah,” ceritanya.
Keluarga memutuskan Yulia dirawat di sebuah RS pemerintah di Jakarta Selatan. Namun, bukan membaik, tapi penyakitnya tambah parah. “Kakiku dioperasi San. Tapi, bukan tambah baik, malah semakin parah. Bengkaknya semakin besar,” ujar Yulia. Oleh dokter RS tersebut, Yulia divonis menderita penyakit lupus. “Memangnya ada tanda kayak kupu-kupu di wajahmu Yul?” tanyaku. “Ga, tapi kalau kena sinar matahari kulitku langsung merah, membengkak,” jelasnya.
Melihat kondisi Yulia yang makin parah, pihak RS itu angkat tangan. Mereka merekomendasikan Yulia dirawat di salah satu RS swasta yang terbilang bagus. Yulia kemudian diboyong di RS yang sering merawat para pejabat itu. ”Gimana Yul, setelah di rawat di sana?” tanyaku. ”Tidak ada perubahan San,” katanya. Anehnya, menurut diagnosa dokter di RS ini, Yulia mengidap kanker kulit. Entahlah yang benar yang mana. Yang jelas, Yulia lumpuh, tidak bisa berjalan. ”Aku tidak bisa jalan sejak tahun 2005 San,” ujarnya.
Keluarga sudah habis-habisan membiayai pengobatan Yulia. Terlebih, bapaknya sebagai tulang punggung keluarga sudah tidak bekerja lagi. Karena kondisi keuangan yang semakin sulit, akhirnya Yulia pasrah. “Kakakku membawaku ke pengobatan alternatif. Mulai herbal, ruqyah, hingga metode lain,” ujarnya.
Belakangan, Yulia dibawa ke seorang ustadz di daerah Petukangan Jakarta Selatan. ”Alhamdulillah mendingan San. Tapi, karena mau bulan puasa, ga praktek, libur,” ujarnya. Saat ini, Yulia juga menjalani pengobatan transfer energi. ”Pokoknya ikhtiar, Allah pasti memberi kesembuhan,” ujarnya tersenyum. Padahal, saat ia ngomong hal itu, aku nyaris menangis.
Melihat ketabahan, keikhlasan, keteguhan hati dan kesabarannya, aku pun malu. Bahkan kala aku ingin membesarkan hatinya, aku juga tak sanggup. Sungguh, aku malu dengan kesabaran hatinya. ”Yul, aku ga bisa ngomong banyak. Karena aku yakin, kamu lebih paham atas semua cobaan ini,” ujarku. ”Ngomong saja San. Alhamdulillah, banyak sekali hikmahnya. Aku bersyukur, Allah memberi sakit ini setelah aku lulus kuliah. Aku sangat bersyukur,” ujarnya. Rabb...dalam kondisi seperti ini, syukurnya masih menggema. Akupun lantas melihat diriku yang sering mengeluh dan kerap lupa atas nikmat-Nya. ”Ampuni aku Tuhan....,” batinku.
Dalam perjalanan pulang dari rumahnya yang berada di gang sempit di kawasan padat penduduk belakang Kostrad, Gandaria Jakarta Selatan, aku masih terngiang ucapan Yulia. Namun, tangisku langsung pecah kala aku berada di dalam mobil. ”Tuhan, dibalik tubuhnya yang kian menyusut dan lumpuh, ia punya jiwa besar dan tegar. Lindungi Yulia, berikan kesembuhan untuknya,” ujarku di sela tangisku.
Pagi ini, aku menerima sms dari Yulia. Sungguh, tergambar sebuah kesabaran dan keihlasan hati anak manusia dalam menghadapi cobaan dari Sang Pemilik Kehidupan. ”Sungguh San, ada banyak hikmah di balik semua ini. Aku jadi tahu, manusia itu benar-benar makhluk lemah. Kekuasaan, kehidupan, dan kesembuhan hanya milikNya, Allah azza wa jalla.”
Yulia temanku yang manis, yang lincah, ceria, saat ini hanya bisa terbaring. Bahkan, untuk duduk pun ia tak sanggup. Nyaris sepanjang hari ia hanya bisa mendengarkan ceramah keagamaan dari radio mungilnya yang ia letakkan di dekat kupingnya. Cita-citanya untuk membahagiakan orang tuanya dan memperbaiki ekonomi keluarga, direnggut penyakitnya. Hanya enam bulan ia bekerja. Setelah itu, ia menjalani hari-harinya dengan pengobatan dari dokter satu ke dokter lain, dari herbalis satu ke tenaga alternatif lain. ”Jika berobat, aku dibopong San,” tuturnya. Padahal, ia sama seperti aku dan lainnya. Punya hak untuk hidup lebih baik. Tapi, semua itu, saat ini seakan sirna dari hidupnya.
”Rabbi, Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, berilah kesembuhan dan yang terbaik untuk Yulia,” doaku dalam sujudku. Teman-teman, mohon keikhlasan doa untuk kesembuhan Yulia. Terima kasih atas support-nya.

Kamis, 13 Agustus 2009

Tong Kosong Nyaring Bunyinya, Tong Bolong Melompong Isinya



Sekilas, tong warna hijau toska yang berada di peron salah satu statsiun itu baik-baik saja, ya seperti lazimnya tong sampah. "Aku baik-baik saja....," mungkin kira-kira begitu jika ia bisa bicara, seperti lagunya Ratu lah.Bahkan, boleh dibilang jika dilihat sekilas, kondisinya masih oke. Tanpa ragu, aku pun mendekatinya. Untuk apa? Ya untuk buang sampah lah masak buang muka....:p
Namun, kala bungkus penganan nyaris lepas dari jemari tanganku yang sangat kasar kayak amplas (maklum kuli bangunan nek...)tiba-tiba aku mengurungkannya. Ow ow....tong sampah itu separo dasarnya bolong! "Hhhhh...ini jelas-jelas jebakan!" kataku kesal dalam hati. Finally, kukantongi aja tuch bungkus makanan kecil.
Ternyata, tong sampah itu seperguruan dengan miss kunti, sama-sama bolong. Dah gitu, dia sudah tidak layak lagi menyandang nama besar tong sampah, tapi harus diganti menjadi tong bolong. Kalo dia ngotot tetap ingin dipanggil tong sampah, sudah tidak pantes lagi. Pasalnya, ga bisa nampung sampah. Masih mendingan tong kosong meski nyaring bunyinya masih bisa diisi macem-macem mulai dari tanaman hingga sisa-sisa bangunan. Tong kosong pun bisa menjadi tong sampah. Kalo tong bolong? Ya mlompong isinya. Alias ga ada apa-apanya.
Hal-hal kecil kayak begini membuktikan betapa besar 'perhatian'pemerintah, instansi terkait dan masyarakat Indonesia akan kebersihan lingkungan. Sehingga, tong sampah pun dibiarkan bertengger anggun meski sudah bolong. Yang penting kan kelihatan care pada lingkungan. Padahal.....