Senin, 06 Desember 2010

Mencari Cahaya Pasca Bencana

Kesedihan, kehilangan, kekecewaan, dan trauma adalah kata-kata yang melekat ketika bencana melanda. Secercah cahaya sangat diperlukan agar korban sembuh dan bisa melanjutkan hidup kembali pasca bencana.
Tangis Ismail lirih menyayat di antara puing reruntuhan material. Kepedihan nyata mencuat di wajah lelaki paruh baya itu. Dua anaknya dan istrinya menjadi korban amuk tsunami di kampungnya, Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera Barat. Ia tak pernah menyangka, kebersamaan keluarganya akan berakhir di ganasnya air.
Duka juga dirasakan seorang ibu di Sumatera Barat. Acapkali air bening mengalir dari dua matanya. Bahkan, tangis keras terdengar kala nama anaknya, Angga, salah satu korban gempa di Padang, 30 September 2009 disebut salah satu presenter TV berita. Angga, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar di Padang, menjadi salah satu korban meninggal saat gempa menggoyang bumi Minang. Meski setahun berlalu, duka ibu Angga masih terasa. “Saya masih sedih kalau masuk ke kamarnya,” ujar wanita berkulit bersih itu pilu.
Bencana alam tidak bisa diperkirakan kapan pastinya datang. Meskipun peradaban manusia telah menghasilkan teknologi yang bisa mendeteksi gejala alam penyebab malapetaka. Seperti diungkapkan Prof Hery Harjono Peneliti Bidang Kebumian LIPI kepada wartawan stasiun TV swasta beberapa waktu lalu. “Ilmuwan bisa menjelaskan fenomena alam setelah terjadi bencana, juga bisa membuat prediksi tetapi tidak bisa memastikan. Ada deviasi antara prediksi dengan kejadian,” ujarnya.
Dengan adanya ketidakpastian datangnya bencana, masyarakat harus memiliki kewaspadaan dan ilmu tentang bencana alam. Selain persiapan material, juga diperlukan kesiapan mental dan strategi yang harus dilakukan ketika musibah terjadi. Sosialisasi tentang penyelamatan diri kala gempa, banjir, gunung meletus, tanah longsor, tsunami, dll harus dilakukan mulai dari bangku sekolah dasar. Juga penyuluhan kepada warga masyarakat dari rukun tetangga hingga kelurahan.
Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu lahan subur gempa, bencana gunung meletus, dan tsunami. Melihat kondisi geografis dan geologis Indonesia, sudah menjadi keharusan kita semua melek bencana.
Meski demikian, tetap diperlukan langkah-langkah progress dalam menangani bencana terkait traumatik korban, kelanjutan hidup korban dari sisi psikologis dan ekonomi, serta pemulihan daerah bencana.
Penyembuhan Trauma
Kehilangan harta benda atau menurunnya kondisi ekonomi menjadi salah satu kerugian yang diakibatkan bencana alam. Selain hilangnya orang terdekat dan keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan, dan cacat fisik. Sehingga wajar jika bencana alam menorehkan kenangan pahit dalam memori korban atau menimbulkan trauma dan pasca trauma. Dalam tinjauan psikologi kondisi pasca trauma disebut post traumatic stress disorder (PTSD) atau gejala stress pasca trauma.
Menurut para pakar psikolog, PTSD merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa tragis atau luar biasa. Orang ybs menjadi sangat terpukul, marah, kecewa, meratapi nasib, sangat sedih, cemas, gelisah, sulit tidur, takut berlebihan, waspada berlebihan, menarik diri, sulit konsentrasi, tidak percaya apa yang dialaminya, merasa tidak berdaya, bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan jati diri dsb.
Gangguan psikologis ini menyebabkan kondisi kehidupan korban sangat kritis, tidak nyaman dan rentan terhadap berbagai bentuk gangguan kesehatan fisik dan kejiwaan. Sebagian orang yang tidak kuat mentalnya akan mengalami stress, depresi, bahkan sakit jiwa.
Malangnya, gangguan ini bisa menetap lama pada diri korban hingga 30 tahun bahkan sampai seumur hidup. Sehingga diperlukan penanganan secara tepat antara lain dengan psikoterapi. Masyarakat diajak menerima kondisi realita yang ada, membantu dirinya sendiri menyembuhkan traumanya, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Aspek religiusitas menurut sebagian kalangan dinilai efektif membantu penyembuhan trauma korban bencana alam. Pasalnya, ketika agama seseorang kuat, ia akan menerima musibah dan menganggap itu sebagai cobaan. Ia juga akan mencari hikmah atau pelajaran dari musibah yang menimpanya. Setelah itu, korban akan berusaha bangkit, mengumpulkan energinya untuk kembali menata hidupnya.
Penanganan Anak
Selain orang dewasa, anak-anak kerap menjadi korban bencana yang terabaikan. “Anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam harus disembuhkan dari traumanya secara permanen. Penyembuhan trauma pada anak-anak tidak boleh bersifat sementara atau hanya memberikan hiburan sesaat,” kata Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia Masnah Sari seperti dikutip di harian Kompas. Anak-anak pasti mengalami trauma melihat rumah dan tempat bermainnya hancur, imbuhnya.
Misran, Koordinator Unit Pusat Kajian Perlindungan Anak, seperti dikutip dari laman Starberita.com mengungkapkan trauma dan kesehatan anak kurang mendapat perhatian, dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Dalam kondisi darurat, anak anak juga sering mengalami eksploitasi ekonomi, keterpisahan dan kehilangan tempat aman, imbuhnya.
Tingkat ketergantungan anak-anak yang tinggi terhadap orang dewasa membuat mereka berada di bawah ancaman dan sangat beresiko ketika orang tua dan keluarga menjadi korban meninggal. Sayangnya, kata Misran, Indonesia belum memiliki sistem penanganan bencana komprehensif dan kebijakan khusus menangani anak-anak dalam situasi tanggap darurat. “Institusi seperti sekolah, panti asuhan, organisasi keagamaan lembaga adat perlu diperkuat kapasitasnya untuk merespon cepat menangani anak-anak ketika bencana terjadi,” ujarnya.
Trauma anak, kata Masnah, bisa disembuhkan dengan menitipkan anak-anak ke sekolah yang tidak mengalami bencana. “Anak-anak itu dikumpulkan di satu tempat khusus dan diberi proses belajar mengajar yang khusus,” terangnya. Dosen psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Wiwik dalam seminar penanggulangan bencana yang juga menghadirkan Misran mengatakan perlunya deteksi dini sebelum memutuskan langkah terapi yang akan dimbil. "Kita harus mengetahui riwayat anak sebelum dan setelah bencana, tanda-tanda perubahan psikologi secara umum dapat dikenali sejak dini.”
Melanjutkan Hidup
Rachman, salah satu korban selamat gempa Padang, Sepetmber tahun lalu, kini harus hidup dengan satu kakinya. Padahal, kaki menjadi bagian vital yang mendukung aktivitas kerjanya sebagai tukang bangunan. Meski kakinya harus ia amputasi sendiri dengan gergaji, pemuda berdarah Sunda itu mengaku bersyukur bisa selamat dari amukan gempa. Ia kini mulai menata masa depannya. “Saya berharap ada dermawan yang mau menyumbang kaki palsu untuk saya,” harap Rachman.
Sarifah Cut, perempuan paruh baya yang tinggal di Aceh Barat juga menjadi saksi hidup atas kedahsyatan tsunami yang melanda serambi mekah pada Desember 2004. Bukan hanya harta benda yang hilang, salah satu jarinya putus terkena benda tajam saat ia berusaha menyelamatkan diri. Usai tsunami, perempuan yang aktif menggerakkan perempuan desa untuk berkoperasi ini mulai menata hidupnya. Termasuk menghidupkan kembali koperasi wanita yang dibentuknya. Meski, aset dan sebagian besar anggota koperasi hilang disapu tsunami. “Saya memulai semuanya dari nol lagi,” ujarnya saat ditemui dalam sebuah pameran KUKM di Gedung Smesco Promotion Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bangkit pasca mengalami kejadian pahit dalam hidup seperti musibah bencana alam tidaklah mudah. Dibutuhkan refleksi yang akan menjadi bahan evaluasi dan guidance seseorang maju ke depan. Sayangnya, tidak semua orang bisa melakukan refleksi yang sangat membantu dalam memetakan kekuatan dan kelemahan serta strategi bertahan hidup dan enjalaninya dengan lebih baik.
Diperlukan dua syarat seseorang bisa bangkit kembali menata masa depan, yakni kemauan berjuang untuk hidup dan kemauan bangkit mengatasi masalah dan membangun kembali hidup dan daerahnya yang porak poranda. Selain itu, dalam konteks masyarakat, diperlukan daya gotong royong untuk menata kembali keluarga dan wilayah.
Pemulihan hidup korban sangat tergantung pada kualitas yang bersangkutan. Sehingga, kualitas manusia menjadi aspek penting dalam menata kembali hidup masyarakat korban bencana alam. Peningkatan kualitas manusia, bukan berpusar pada kecerdasan pribadi. Tetapi juga adanya perlindungan, jaminan rasa aman, dan kesejahteraan dari pemerintah setempat.
Ya, peran pemerintah, lembaga sosial, dan empati masyarakat yang tidak menjadi korban sangat diperlukan. Pemerintah harus memiliki kebijakan, lembaga, dan aparat yang sigap mendukung pemulihan korban dan wilayah bencana. Juga fasilitator lembaga sosial yang diharapkan membantu memulihkan gangguan mental masyarakat. Para fasilitator sedianya memberikan perhatian dengan mendengar keluhan, mendampingi mereka mencari solusi atas permasalahan yang ada. Selain itu, fasilitator juga mengarahkan masyarakat dalam membangun kembali daerah dan lingkungan sosial. Mari bersama membantu saudara kita yang tengah ditimpa bencana. Duka mereka duka kita juga.

Kamis, 25 November 2010

Rezeki Allah itu Luas

Selasa siang (9 Nov) aku kedatangan tamu istimewa. Mantan cleaning service (CS) di kantor, sebut saja namanya Maman. Tubuhnya terlihat lebih kurus dalam balutan jaket hitam. Terakhir ketemu, Maman sedang menganggur. Ceritanya, ia keluar karena memperoleh pekerjaan baru di bidang ekspedisi. Sepintas, pekerjaan baru Maman lumayan menggiurkan.
“Gajinya lebih besar di sana mbak,” kata Maman sumringah saat pamitan.
Aku lega Maman memperoleh pekerjaan lebih baik. Terlebih istrinya kala itu baru saja melahirkan anak pertama dan keluar dari pekerjaan sebagai buruh pabrik.
Sekitar dua bulan kemudian, Maman datang lagi ke kantor.
“Kok main ke sini, memangnya nggak kerja,” tanyaku.
“Saya sudah tidak kerja lagi, Mbak,” balasnya.
“Memangnya kenapa Man?”
“Gajinya habis untuk membeli bahan bakar, Mbak. Masak untuk mengantarkan barang harus menggunakan sepeda motor dan bensin dari kantong sendiri,” keluhnya.
Sebenarnya Maman tahu, pilihan keluar bukan jalan terbaik. Karena, ia sangat membutuhkan uang untuk membiayai keluarganya.
Guna menambal kebutuhan keluarga, Maman menjadi guru ngaji di sebuah mesjid di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
“Alhamdulillah, masih mendapat rezeki dari orang tua murid,” ujarnya tersenyum.
Meski demikian, keuangan keluarga Maman kian limbung. Maklum, honor guru ngaji sangat tiris dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beruntungnya, dua bulan kemudian datang panggilan kerja sebagai security di rumah salah seorang istri pengusaha di Kemang. Namun, pergolakan batin ia alami ketika bekerja di sini.
“Saya sering bertanya, sumber uang ini haram atau halal,” terangnya menjelaskan asal muasal uang majikannya yang menurutnya menyalahi norma.
Dalam kebimbangan itu, ia memutuskan keluar. Ia kemudian melamar di sebuah perusahaan yang menangani maintenance beberapa gedung di kawasan Jakarta Selatan.
“Alhamdulillah, diterima. Dari 200 pelamar, saya termasuk 12 orang yang diterima,” ujarnya. Meski, bidang pekerjaannya lumayan berbahaya, membersihkan kaca gedung dengan gondola.
“Ada saudaraku yang bilang, kerjaan kayak gitu kok diterima,” kata Maman menambahkan,” Kujawab aja Mbak, daripada anak istri gue nggak makan?”
Meski bertaruh nyawa, Maman sangat bersyukur dengan gawean anyarnya.
“Alhamdulillah kantor ngasih gaji lumayan mbak ,” kata Maman bungah.
Dalam sebulan ia mengantongi gaji hampir Rp 2 juta dipotong jamsostek dan asuransi kesehatan.
Jam kerjanya juga terbilang lengang.
“Sore jam 3 sudah bisa pulang,” kata Maman.
Yang paling membuat Maman senang, ia diangkat menjadi karyawan tetap. “Selama ini saya jadi CS selalu kontrak, Mbak. Di sini saya diangkat menjadi karyawan tetap. Jadi ada karir mba, Alhamdulillah,” ujarnya senang.
Maman, seorang lulusan SMA dengan seorang istri dan anak, masih berani menabur mimpi mendapat pekerjaan yang lebih baik dan halal. Aku sendiri, yang pendidikannya lebih tinggi, masih kerap diliputi bimbang ketika ingin keluar dari zona nyaman.
Ada semacam ketakutan Allah tidak membuka kran rezekinya dari pintu lain. Juga keengganan menerima perubahan yang bagi sebagian orang terasa melelahkan dan menyakitkan. Dari Maman, mataku dipaksa membuka lebar. Ternyata rezeki Allah itu tersebar. Tidak hanya di kantor tempat kita bekerja sekarang. Tetapi di pintu-pitu lain yang kerap kita tidak mengetahuinya dan menyangkanya. Karena, Dia, Pemilik Semesta, adalah Tuhan yang Maha Kaya. Kenapa kita masih meragukan pintu-pintu rezeki-Nya?
http://susansutardjo.blogdetik.com
http://nduksusan.blogspot.com
http://jendelasastra.com/susansutardjo

Minggu, 10 Oktober 2010

Nasib Ritel Pangan Lokal: Menjadi ‘Tamu’ di Negeri Sendiri

Kondisi ritel pangan lokal saat ini boleh dibilang di ujung tanduk. Selain harus bertahan di tengah serbuan produk impor, makanan warisan leluhur itu juga bertarung dengan perubahan selera lidah masyarakat yang gandrung makanan cepat saji, dan regulasi yang tidak mendukung. Keberpihakan pemerintah, masyarakat, dan stakeholder menjadi kunci penting keberlangsungan ritel pangan lokal.
Kekecewaan terilhat di raut Iwan, asisten manager sebuah perusahaan konsultan di Jakarta kala berlalu dari sebuah rumah makan di kota minyak di Kalimantan. Ia berharap bisa memanjakan lidahnya dengan suguhan masakan lokal. Sayangnya, hingga hari terakhir di kota itu, laki-laki berusia 30 tahunan itu tidak menemukan restoran bermenu lokal. “Rata-rata menu nasional dan junk food,” ujar pria berdarah Jawa yang lahir dan besar di Jakarta ini.
Lain cerita ketika ia ditugaskan di Makassar, Sulawesi Selatan. “Wah, saya puas banget mencoba berbagai makanan di daerah ini. Menu yang tak pernah ketinggalan adalah ikan,” katanya dengan mata berbinar. Sandiaga S. Uno, pengusaha nasional, ketika bertandang ke Semarang bertanya makanan apa yang harus dicoba di kota atlas itu lewat akun facebooknya. Jawaban yang muncul pun bisa ditebak. Mulai dari lumpia, wingko, soto Semarang, sate, ayam bakar, dll.
Setiap bertandang ke suatu daerah, kita akan terkaget-kaget dengan kuliner setempat yang beragam. Meski ada beberapa daerah yang miskin penganan lokal. Kadang kita menjumpai jenis makanan yang sama dengan daerah lain, tapi namanya beda. Misalnya masyarakat Jawa Tengah bagian utara menyebut makanan dari bahan ketan dengan isi kacang di dalamnya dengan nama dumbek. Sementara orang Sunda menamai kue basah itu dengan sebutan bacang.
Uniknya, sesama masyarakat Jawa kerap tidak sama menyebutkan satu jenis nama makanan. Contohnya kue nogosari yang terbuat dari tepung terigu dengan isi pisang. Sebagian masyarakat pesisir Jawa menamainya ciklek.
Kendati kuliner lokal memiliki potensi besar untuk berkembang, keberadaannya kini mulai tergilas oleh makanan cepat saji yang berasal dari luar negeri. Melihat berlimpahnya pangan global baik fast food hingga bahan makanan jadi, menyebabkan makanan lokal kita tidak lagi menjadi tuan rumah, tetapi tamu di negeri sendiri.
Proteksi, Sosialisasi, dan Festival Kuliner
Serbuan pangan global telah merubah selera lidah sebagian masyarakat dari makanan tradisional ke sajian cepat saji atau fast food. Tengoklah ke resto-resto kota besar, sebagian besar menjajakan menu makanan asing. Malangnya, kelangkaan makanan tradisional tidak hanya melanda kampung beton. Di desa-desa pun kini sebagian makanan tradisional kini menghilang. Seperti kue puntir, walang-walang, rondo royal yang sangat sulit ditemui di daerahku, Lasem, Jawa Tengah.
Jika kesadaran masyarakat melestarikan pangan tradisional terus menipis, mungkin 15 tahun lagi generasi sekarang tidak mengenal thiwul, ongol-ongol, gethuk, grontol, carabikang, dll. Minimnya konsumsi pangan tradisional secara langsung juga berpengaruh pada budidaya sumber makanan lokal seperti singkong, ubi, jagung, dll. Jika permintaan jarang, maka petani kita akan enggan menanam.
Dr Murdijati Gardjit, ahli makanan tradisional dari Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) UGM Yogyakarta, di situs Gatra.com mengatakan bahwa penganan tradisional berbahan baku lokal lambat laun terancam punah, karena lemahnya sosialiasi dan proteksi pemerintah. "Dengan banyaknya bermunculan makanan modern atau cepat saji, makanan tradisional terancam punah jika tidak ada proteksi dan dimulai dari dapur kita sendiri," jabarnya. Menjamurnya makanan cepat saji menyebabkan makanan tradisional berbahan baku lokal dilupakan, imbuhnya.
Mulai dari dapur sendiri, artinya setiap keluarga memasak sendiri makanan yang akan disajikan. Karena, kata Murdijati, salah satu faktor penyebab tepuruknya makanan tradisional adalah kebiasaan masyarakat sekarang yang memilih jalan pintas jajan di restoran atau warung makan ketimbang menyalakan api dapurnya sendiri.
.
Selain proteksi, kata Murdijati, perlu dilakukan sosialisasi. Semua elemen baik masyarakat, asosiasi jasa boga dan pemerintah harus ikut aktif mensosialisasikan makanan tradisional berbahan baku lokal, imbuhnya.
Salah satu contoh kegiatan sosialisasi yang bisa dilakukan adalah menyelenggarakan festival kuliner warisan leluhur. Dari lingkup paling kecil seperti RT, RW, kecamatan dan kabupaten menggelar kegiatan ini setahun sekali. Festival diisi dengan pameran makanan tradisional dan lomba memasak. Selain itu juga perlu diadakan lomba memakan bagi remaja dan anak-anak untuk mengenalkan kekayaan kuliner leluhur.
Peningkatan Mutu, Pengemasan, dan Inovasi
Kemasan menarik dan kesan modern menjadi salah satu daya tarik fast food. Agar masyarakat tertarik pada makanan tradisional, sebisa mungkin kemasan makanan tradisional dibuat eye catching. Kita bisa mencontoh produk makanan kecil di Cina yang dikemas dengan bungkus menarik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mutu makanan. Kualitas makanan harus bagus dengan pemilihan bahan lokal berkualitas. Lebih baik jika dilengkapi dengan izin dari BPOM dan labe halal untuk menjamin keamanan dan menambah kepercayaan konsumen.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk mencuri hati konsumen adalah melakukan inovasi pangan. Kue tradisional seperti getuk yang semula hanya terbuat dari singkong bisa ditambah dengan keju sehingga melahirkan varian baru. Hal ini berlaku untuk penganan lain. Kita bisa memadukan bahan makanan lokal standar dengan produk pangan global.
Kampanye Hidup Sehat
Eksistensi makanan tradisional akan kembali berkibar jika kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat kian meningkat. Salah satu faktor pendukung gaya hidup sehat adalah pola makan. Banyaknya penyakit degeneratif yang menyerang masyarakat modern salah satunya disebabkan junk food atau makanan sampah yang kaya kolesterol dan minim gizi.
Murdijati seperti yang tertulis di Gatra.com menilai masyarakat sekarang lebih mengejar kenikmatan ketimbang manfaat yang terkandung dalam makanan. “Saat ini orang lebih cenderung berpikir instan dalam memilih makan sehingga kurang mempertimbangkan kandungan dan nilai gizi dalam makanan tersebut. Sehingga tidak heran saat ini banyak warga yang menderita penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, koleseterol.”
Prof dr. Muhammad Sulchan, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di salah satu artikel di suarakarya-online.com juga mengungkapkan junk food menjadi salah satu pemicu penyakit kanker. “Globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem ritel pangan, yang ditandai dengan menjamurnya hypermarket, restoran cepat saji, waralaba, food court dari berbagai penjuru dunia yang sebagian besar menyajikan junk food atau makanan sampah dengan resiko terkena kanker sangat tinggi,” papar Sulchan. Proses pengolahan dan pematangan fast food beresiko menyebabkan kanker, imbuhnya.
Guna mengurangi kanker, Sulchan menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengkonsumsi makanan lokal berbahan baku alami dan diolah secara tradisional. Ia menambahkan mengkonsumsi tahu dan tempe dari kedelai lokal lebih sehat ketimbang kedelai impor.
Bersinergi atau Membatasi Ritel Modern?
Sejengkal kaki melangkah di jalanan ibukota, kita akan menemui ritel modern baik dari dalam negeri maupun asing. Entah itu minimarket ataupun area shopping mall. Sehingga, bisa dibilang sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan ritel moderen.
Ritel modern jumlahnya terus menggunung meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 44 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran Swasta di DKI Jakarta. Aturan ini menegaskan jarak minimal pasar tradisional dengan ritel modern sekitar 2,5 km.
Realitanya, kita kerap menemui tiadanya jarak antara ritel modern dengan pasar tradisional. Dan ini sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, antara satu ritel modern dengan yang lain jaraknya hanya satu depa atau hanya dipisahkan oleh tembok.
Meski kondisi di lapangan berkata tidak ada zonasi, dan aturan hanya tinggal sebuah tulisan di atas kertas, seorang pejabat di Pemprov DKI Jakarta seperti yang dimuat di mediacenterkopukm.com mengatakan zonasi tetap berlaku. Namun, buru-buru ia menambahkan, sepanjang barang yang diperjualbelikan berbeda tidak ada masalah. Lemahnya pengawasan pemerintah member ruang gerak selebar-lebarnya bagi peritel asing.
"Aturannya sudah tepat, tapi yang masih lemah adalah pengawasan pelaksanaan peritel asing," kata dia.
Dengan masifnya jumlah mereka, bisa dipastikan makanan tradisional pun menyurut. Pasalnya, sebagian besar content makanan yang dijual adalah produk pangan global. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, upaya yang bisa dilakukan sekarang adalah bagaimana ritel-ritel itu memberi ruang bagi produk makanan tradisional kita. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian berencana meningkatkan volume penyerapan pangan lokal skala industri kecil dan menengah pada ritel modern menjadi 25%. Hingga tahun 2009 penyerapan usaha ritel produk IKM pangan lokal ke area perbelanjaan modern baru sekitar 10%.
Tahun 2007 jumlah IKM pangan lokal yang memproduksi makanan tradisional sebanyak 140 ribu unit dengan konsentrasi terbesar di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan mencapai 340 ribu orang. Berdasarkan data Depperin seperti yang dimuat di situs kontan.co.id, jumlah IKM pangan pada 2008 tercatat 18.064 unit dengan tenaga kerja sebanyak 57.438 orang. Jika mengacu data terakhir (2008) berarti ada penurunan IKM secara kuantitas.
Namun, peningkatan daya serap tidak cukup tanpa membatasi keberadaan ritel modern. Bagaimana mungkin pangan lokal bisa berkembang jika ia hanya menjadi tamu di area ritel modern yang kini menjajah ruang perkotaan hingga perkampungan. Sudah saatnya pemerintah sungguh-sungguh memberikan nafas bagi ritel pangan lokal untuk menghidupkan makanan tradisional.
Waralaba Pangan Berbahan Lokal
Potensi makanan lokal yang besar namun belum tergali secara optimal bisa diselesaikan dengan mewaralabakan pangan lokal. Tentunya sebelum menjadi item waralaba dan business opportunity (BO), produk tsb telah dikenal dan digemari masyarakat. Sayangnya, beberapa tahun terakhir, dari sekian banyak waralaba pangan lokal berbahan lokal hanya sedikit yang mampu bertahan.
Tiga tahun lalu BO minuman teh kemasan sangat menjanjikan. Dengan modal kecil sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 4 juta sudah bisa membeli BO minuman teh kemasan. Omset yang diperoleh pun terhitung lumayan. Namun, seiring kian banyaknya pemain sejenis, maka omset bisnis minuman ini pun mulai menurun. Seorang teman yang memiliki satu booth minuman teh kemasan mengeluh. “Boomingnya hanya tiga tahun,” ujarnya.
Nasib serupa juga dialami BO lain seperti singkong keju yang laris manis bak kacang goreng sekitar dua tahun lalu. Lalu banyak orang bermain di bisnis ini. Hasilnya, kompetisi pun kian ketat. Bahkan, kini kita jarang menemui lagi singkong keju yang biasanya dijajakan di gerobakan.
Pelaku usaha yang akan mewaralabakan produknya seharusnya memiliki plan business, riset matang tentang pengembangan produk, SDM, dan pemasaran. Sehingga, umur usaha tidak sesingkat tanaman jagung. Mereka harus banyak belajar pada waralaba asing yang bisa menyebar produknya di seantero dunia. Meski ada beberapa waralaba makanan lokal yang masih eksis hingga sekarang, sayangnya mereka mengembangkan makanan asing dengan bahan baku impor. Sehingga, perkembangan usahanya tidak berpengaruh pada kemajuan pertanian kita.
Permodalan dan Perizinan
Salah satu kendala yang dihadapi sebagian besar pelaku industri pangan lokal adalah permodalan. Saat ini pemerintah mengeluarkan program KUR atau kredit usaha rakyat yang bertujuan membantu akses permodalan bagi pelaku IKM. Sayangnya, hanya sebagian dari pelaku UKM di bidang pangan yang di-cover modal perbankan. Selebihnya masih terjerat bunga panas rentenir.
Sejatinya pemerintah telah berupaya memperluas akses pembiayaan KUR dengan menggandeng Bank Pembangunan Daerah sebagai bank semula. Semula KUR hanya disaurkan enam bank nasional. Lagi-lagi kondisi di lapangan tidak semanis kesepakatan yang telah disetujui. Banyak dana KUR yang akhirnya hanya parkir.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam men-support pangan lokal adalah perizinan usaha. Sejumlah pelaku UKM di bidang pangan mengeluhkan lamanya proses perizinan di BPOM (Badan Pengawasan Obat dan makanan). Hal tersebut sangat kontras dengan izin impor yang terbilang kilat.
Ketua Apindo Sofyan Wanandi seperti dikutip di bisnis Indonesia.com menegaskan jika pemerintah serius mendukung industri dalam negeri, proses perizinan di BPOM diharapkan dipermudah dan dipersingkat. "Kasihan industri kita ini, dipersulit, diputar-putar. Paling cepat 7 bulan mereka mengurus perizinan. Rata-rata di atas 1 tahun, bahkan ada yang 2 tahun."
Sangat disayangkan dan menjadi kerugian besar bagi bangsa ini jika generasi mendatang hanya mengenal donat, fried chicken, burger, wafel, es krim, pancake, french fries, kebab, dll yang notabene merupakan produk asli luar dengan bahan baku impor. Sementara makanan tradisional berbahan baku lokal terlantar dan tidak dipedulikan.
Sudah menjadi keharusan ketika sebagian dari kita terbiasa mengkonsumsi makanan luar, pangan lokal pun juga dikenal di negeri orang. Bukan sebaliknya, pangan global menjajah kita, sementara pangan lokal mati secara pelan-pelan. Saya membayangkan penganan tradisional kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa go international dan diwaralabakan. Ah, akankah mimpi itu menjadi kenyataan? Atau hanya khayalan yang tetap menggantung di awan-awan. Pangan lokalku, ah nafas kehidupanku.

Susan Sutardjo

Kamis, 30 September 2010

Lomba Surat Untukmu, Nak

Ungkapkan perasaan hati Anda saat menunggu kehadiran buah hati di tengah keluarga Anda. Siapa tahu Anda berkesempatan memberi hadiah yang lebih istimewa berupa buku? Berikut ini informasi lomba yang diselenggarakan oleh Azkah Madihah:


DESKRIPSI LOMBA

Lomba ini terbuka untuk umum. Tujuan utamanya adalah untuk membuat buku berjudul sama, “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu.” dan “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ayahmu.” Berisi ungkapan hati seorang calon ibu dan ayah yang ingin disampaikan kepada anak-anaknya kelak. Contoh penggalan surat ada dalam postingan ini: “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu.” meski pun bukan merupakan format baku dalam penulisan surat, silakan berkreasi dengan jenis dan teknik penulisan maupun gaya bahasa.

PERSYARATAN LOMBA

Lomba penulisan surat ini memiliki persyaratan umum sebagai berikut:

1. Peserta diperkenankan memilih kategori surat yang diikutsertakan dalam lomba, yaitu:
1. “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu.” Diperuntukkan bagi para perempuan, baik yang sudah menikah atau pun belum, yang belum memiliki anak. Diperkenankan bagi calon ibu yang sedang mengandung anak pertamanya.
2. “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ayahmu.” Diperuntukkan bagi para lelaki, baik yang sudah menikah atau pun belum, yang belum memiliki anak.
2. Lomba ini terbuka bagi kalangan umum, dengan latar belakang apa pun.
3. Surat merupakan karya sendiri, asli, bukan terjemahan maupun saduran karya orang lain, jiplakan, atau plagiat (karya orang lain).
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
5. Panjang tulisan adalah 2 (dua) sampai 3 (tiga) halaman A4 dengan font Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal tanpa ilustrasi atau foto.
6. Karya tidak sedang dan belum pernah diikutkan dalam lomba lain.
7. Setiap penulis dapat mengirimkan lebih dari satu tulisan.
8. Peserta tidak dipungut biaya apapun.

PENGIRIMAN KARYA TULIS

1. Surat dikirimkan dalam bentuk attachment file Microsoft Word (.doc, .docx, .rtf) ataupun PDF ke email azka.madihah@gmail.com atau azka.madihah@yahoo.com beserta biodata penulis. Format bagi judul email adalah [Surat Untukmu, Nak: “Judul Surat yang Diikutsertakan dalam Lomba”].

2. Bagi yang memublikasikan karya suratnya di laman website atau weblog, mohon cantumkan URL postingan ini (http://azkamadihah.wordpress.com/2010/lomba-surat) dalam karyanya, agar semakin banyak yang mengetahui tentang lomba ini. Silakan cantumkan juga alamat URL postingan Anda tersebut dalam email yang dikirimkan ke alamat di atas.

3. Panitia paling lambat menerima file naskah surat paling lambat pada 6 Oktober 2010, berdasarkan Waktu Indonesia Barat (WIB) yang tercantum dalam format pengiriman e-mail penerimaan.

HADIAH

Hadiah yang disiapkan sebagai tanda penghargaan atas partisipasi peserta ialah:

Juara I Lomba Menulis “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu” (untuk satu orang, tidak dipisahkan antarkategori) memperoleh plakat, uang senilai Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan novel “Rahim” karya Fahd Djibran.

Juara II Lomba Menulis “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu” (untuk satu orang, tidak dipisahkan antarkategori) memperoleh plakat, uang senilai Rp. 300.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan novel “Rahim” karya Fahd Djibran.

Juara III Lomba Menulis “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu” (untuk satu orang, tidak dipisahkan antarkategori) memperoleh plakat, uang senilai Rp. 200.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan novel “Rahim” karya Fahd Djibran.

Apabila buku jadi diterbitkan, setiap karya yang masuk ke dalam buku “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu.” akan mendapatkan sertifikat penghargaan dan satu eksemplar buku yang diterbitkan. Tanda penghargaan ini akan dikirimkan maksimal satu bulan setelah buku diterbitkan.

PENJURIAN

1. Penjurian akan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama oleh juri seleksi tahap pertama yang dilakukan pada 6-13 Oktober 2010.
2. Penjurian tahap kedua dilakukan untuk menilai naskah yang lolos tahap pertama, dan dilakukan pada 14-21 Oktober 2010.

PENGUMUMAN PEMENANG

Pengumuman pemenang akan dilakukan pada 28 Oktober 2010 di weblog http://azkamadihah.wordpress.com.

KETENTUAN LAIN

1. Panitia memiliki hak menerbitkan tulisan-tulisan yang masuk menjadi sebuah buku dan memiliki hak atas pemasukan yang diterima dari buku tersebut.

2. Panitia membuka kesempatan berkorespondensi dengan pengirim karya melalui alamat email yang tercantum di atas. Dapat pula mengirimkan pertanyaan kepada Aisha (aachan_putri@yahoo.com).

3. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Sumber: http://azkamadihah.wordpress.com/2010/09/06/lomba-surat-untukmu-nak-dari-calon-ibumuayahmu

Rabu, 29 September 2010

Meminimalisir Korban Jiwa dengan Melek Gempa

Gempa tidak membunuh. Yang merenggut nyawa adalah material yang jatuh menimpa manusia. Melek gempa menjadi upaya meminimalisir korban jiwa.
Muthia, salah seorang keponakanku yang duduk di kelas 3 Sekolah Dasar swasta sepulang sekolah bertanya soal gempa kepadaku. “Tante, kenapa kalau terjadi gempa bumi kita mesti sembunyi di kolong meja ya?” “Agar tubuh kita terlindung dari reruntuhan, sayang,” jawabku. Muthia mengangguk. Ia kemudian cerita tanggap gempa yang diajarkan gurunya di sekolah.
Materi tentang gempa dan hal-hal yang harus dilakukan sebagai upaya penyelamatan ketika bencana itu terjadi memang mutlak diajarkan di sekolah. Tidak hanya di sekolah, sebagian perkantoran di Jakarta saat ini juga kerap mengadakan simulasi penyelamatan kala gempa melanda. Sirine akan dibunyikan dan karyawan keluar gedung melalui tangga darurat jika berada di lantai bertingkat.
Sosialisasi tindakan tanggap gempa seharusnya juga gencar dilakukan kepada masyarakat. Entah itu melalui forum PKK, arisan, pengajian, ataupun media televisi. Pemerintah melalui perangkatnya hingga tingkat kelurahan dan RT bisa membuat program sadar gempa.
Mengapa melek gempa urgen bagi kita? Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan gempa. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia menyebabkan Indonesia salah satu lahan subur gempa. Mengapa demikian? Karena aktivitas tektonik akan aktif terus. Selain itu, rapuhnya batas kontinen juga ikut menyumbang terjadinya gempa. Wajar jika gempa menjadi bencana rutin yang memporak porandakan sebagian daerah di Indonesia.
Desember 2004 gempa dahsyat hampir 9 skala richter mengguncang sebagian Sumatera dengan tsunami mengiringinya. Kerusakan paling parah terjadi di Aceh dengan korban jiwa mencapai 283.106 orang. Disusul gempa di Nias, Kutacane, Aceh Tenggara, dan Bahorok Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan Padang Sumatera Barat pada September tahun lalu.
Seringnya gempa menggoyang Sumatera disebabkan gerak patahan di sepanjang pulau dan pergeseran bertemunya lempeng Indo-Asia dan Eurasia. Gempa akan terus mengancam hingga gerakan patahan mencapai titik stabil.
Malangnya, tidak hanya Pulau Sumatera yang rawan gempa. Gempa pernah meratakan sebagian rumah penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta, Tasikmalaya, dll. Menurut Badan Meteorologi Klimatalogi dan Geofisika (BMKG) sebagian besar wilayah Indonesia seperti Pulau Sumatera, Jawa, Maluku, Sulawesi, dan Papua rawan gempa. Penyebabnya tak lain adalah gerakan ketiga lempeng sekitar 3 hingga 4 cm tiap tahun.
Tindakan Saat Gempa
Dengan kondisi geografis rawan gempa maka setiap warga yang bermukim di daerah rawan gempa harus aware. Artinya, tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan baik tindakan preventif sebelum gempa dan saat gempa mengguncang daerahnya. Karena yang berbahaya dari bencana gempa adalah material rumah dan benda tajam lain yang rubuh akibat aktivitas gempa.
Sebelum Gempa: Tindakan Preventif
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan warga dan pemerintah sebagai upaya preventif pencegahan korban jiwa.
-Bangunan Tahan Gempa
Masyarakat seyogyanya mendesain rumahnya tahan gempa. Demikian juga pemerintah, harus mendesain gedung perkantoran pemerintah dan mewajibkan perkantoran swasta dan pertokoan bandel jika diguncang gempang. Kalau pun desain rumah atau kantor tidak tahan gempa, sebisa mungkin material rumah tidak berbahaya. Misalnya tidak menggunakan genting beton yang beratnya lumayan untuk atap rumah atau perkantoran. Sebaiknya menggunakan material ringan sebagai atap rumah, perkantoran, dan pertokoan.
-Siapkan Sembako di Bawah Tanah
Saat gempa mengguncang, keberadaan sembako menjadi langka. Kita tidak bisa menggantungkan pada bantuan yang datang. Sebaiknya menyimpan sembako seperti mie instan, beras, dan biskuit di bunker atau bawah tanah dan diganti secara berkala. Mengapa di bawah tanah? Karena kalau disimpan seperti biasa kemungkinan besar sembako tertimbun karena tertimpa material bangunan.
-Simpan Air Mineral Galon
Komponen penting yang paling dibutuhkan saat gempa adalah ketersediaan air bersih. Karena biasanya jaringan listrik mati, bangunan runtuh, dan aktivitas transportasi kota lumpuh, maka air bersih menjadi langka. Simpan beberapa air mineral gallon di bawah tanah.
-Simpan Tenda, Sleeping Bag, Emergency Lamp, Lilin, Korek, dan Senter
Tenda diperlukan saat sebagian besar bangunan runtuh. Demikian juga senter dan emergency lamp atau lampu darurat, dan lilin sebagai alternative penerangan. Sleeping bag digunakan sebagai alas tidur.
-Kenali Lingkungan Rumah dan Kantor
Dengan mengenali lingkungan rumah dan kantor secara baik, kita akan lebih mudah ke mana kita akan keluar menyelamatkan diri dan mencari pertolongan.
-Kenali Lokasi Pintu, Lift, dan Pintu Darurat dengan Baik.
Kita tidak perlu mencari-cari lokasi pintu darurat, lift, jika sudah tahu secara baik lokasinya. Selain itu, saat gempa terjadi orang mudah panik. Sehingga proses keluar dari bangunan akan lebih lama.
-Simpan Dokumen Penting di Tempat Aman
Ijasah, sertifikat, dan surat berharga lain sebisa mungkin ditaruh di satu tempat yang mudah dibawa jika terjadi bencana.
Mencermati Sinyal Alam
Alam sejatinya memberikan sinyal kepada penghuni bumi. Tanda-tanda yang diberikan jika akan terjadi gempa bumi antara lain adanya awan di langit yang memanjang seperti angin tornado atau pohon atau batang dengan posisi berdiri. Selain itu juga adanya medan elektromagnetik seperti lampu menyala redup padahal sedang dimatikan, suara televise tidak jelas, atau tulisan di fax yang kita terima terlihat berantakan. Sinyal alam yang lain adalah banyak hewan yang lari atau menghilang. Sebagian mereka juga mengeluarkan suara.
Tindakan yang Dilakukan Saat Gempa
Nah, apa saja tindakan yang harus dilakukan saat gempa mengguncang. Hal ini sangat tergantung pada posisi di mana kita berada ketika gempa melanda.
-Di Mobil
Kurangi kecepatan, menepi ke bahu jalan. Turun, keluar dari mobil, mencari tanah lapang untuk mengantisipasi dari kemungkinan kebakaran mobil dan tertimpa bangunan. Jangan berada di dekat pom bensin, atau di bawah jembatan penyeberangan.
-Di Pantai
Lari menjauhi pantai sebisa mungkin. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi jika terjadi tsunami.
-Di Pegunungan
Hindari daerah yang kemungkinan terjadi longsong seperti di bawah lereng dll.
-Di Kantor
Keluar bangunan dengan tenang dan tertib melalui tangga darurat. Kepanikan hanya akan membuat tangga penuh dan proses keluar akan terhambat. Jangan gunakan lift atau tangga berjalan untuk menghindari listrik mati saat berada di dalam lift. Jika tidak memungkinkan keluar, bersembunyi di bawah meja untuk melindungi badan dari benda-benda tajam seperti kaca dan tembok yang runtuh.
-Di Pertokoan
Jika suasana panic dan semua orang berebut keluar, sebisa mungkin lindungi kepala dengan tas atau keranjang. Jauhi barang yang bertumpuk dan mudah tergelincir.
-Di Lantai Basement
Jangan panik, berjalan tenang ke arah tembok dengan kepala menunduk dan ditutupi tas hingga mencapai pintu keluar.
-Di Rumah
Matikan kompor jika sedang memasak. Keluar rumah dengan merangkak dan mencari tanah lapang guna menghindari keruntuhan material bangunan. Merangkak diperlukan karena kalau berjalan biasa akan jatuh karena terjadi bangunan. Ini bisa dilakukan jika jarak kita dengan pintu kurang dari 12 meter. Namun, jika jarak kita dengan pintu lebih dari 12 meter, lebih aman sembunyi di bawah meja atau kolong kasur untuk menyelamatkan diri dari bangunan rumah yang roboh.
-Di Jalan
Jauhi bangunan tinggi, papan reklame, tiang listrik, pohon yang kemungkinan akan roboh karena gempa. Waspada juga pada kondisi jalan, apakah merekah atau tidak.
-Di Kereta Api
Tetap tenang, jangan panik sambil melindungi kepala dengan tas menuju pintu keluar. Jauhi tiang kereta. Ada kemungkinan kereta akan berhenti karena aliran listrik mati. Tetap tenang berjalan ke pintu keluar.
-Mencari Informasi
Kepanikan kerap membuat seseorang melakukan tindakan yang salah. Untuk itu dipelrukan informasi yang memberikan panduan langkah penyelamatan.
-Berdoa
Berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan upaya dan bentuk kepasrahan manusia dalam mendapatkan keselataman dari Sang pemilik alam.

Susan Sutardjo

Rabu, 24 Maret 2010

Disangka Lumpuh Tapi Tangguh

Laki-laki kurus itu terus duduk melaju di atas papan seluncur. Kakinya yang cacat terkulai lemah di depan.Tangannya menjadi tumpuan papan. Dua buah kayu dipakai sebagai sandaran. Di atasnya tertancap bendera merah putih lusuh berdebu. Sementara tas punggung memeluk erat.

Sosoknya menyeruak di antara mobil dan motor yang beradu cepat menuju tujuan di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat. Tak pelak, hidungnya harus menghirup kepulan polusi yang berdesakan keluar dari knalpot roda dua, tiga, dan empat. Kupingnya dipaksa kebal terhadap raungan kendaraan. Belum lagi suara bajaj yang bukan main riuhnya.

Kulitnya legam terpanggang sinar. Beruntunglah masih ada topi yang setia menemani. Minimal bisa bersembunyi dari kilau mentari. Atau menyembunyikan wajah kala kamera menyapa. "Tujuan saya masih jauh," ujarnya menjawab pertanyaanku sambil berlalu. Laki-laki cacat itu melaju. Kaki cacatnya tidak menjadi penghalang baginya untuk menjelajah bumi Illahi. Ia ternyata seorang pengelana. Yah, mirip-mirip sebuah iklan lah. "DISANGKA LUMPUH. PADAHAL TANGGUH." OK dech Man...Selamat mengembara...Merdeka!!!!

Jumat, 26 Februari 2010

Salon, Fashion Show, Muludan

Melihat peringatan maulid nabi di beberapa stasiun TV, ingatanku langung meluncur ke masa lalu saat duduk di bangku SD hingga SMA di kampung gersang di balik perbukitan. Petang itu aku sibuk mendandani puluhan anak perempuan. Mereka membawa sarung dan kerudung. Satu persatu teman sebayaku ini aku make over. Satu beres, ganti yang lain. Acapkali mataku menatap jam dinding kayu yang dipajang di gebyok (dinding kayu). Saat SD aku tinggal di rumah gebyok milik mbah. “Waduh, wis jam pitu (sudah jam 7 malam),” kataku dalam hati. Aku pun kian tangkas mendandani teman-temanku.
Sekitar 15 menit kemudian urusan wardrobe beres. Rasa puas langsung menyebar berpendar. Rasanya aku seperti fashion stylist. Bergegas, aku dan pasukanku, gadis kecil berusia 10-13 tahun berjalan beriringan ke masjid jami’ kampung, 400 meter dari rumah mbah. Yah, mirip-mirip fashion show lah. Langkah kami beraturan. Mencoba tampil anggun bak di panggung. Kadang terdengar suitan anak laki-laki yang melihat rombonganku melintas. Sesama anak-anak dilarang suit-suitan…:p Setiba di halaman masjid, kami langsung menempati posisi strategis, menerima tamu.
Malam ini adalah muludan (peringatan maulid nabi). Muludan disambut suka cita, baik anak-anak maupun orang tua. Bagi kami, anak-anak, beberapa hari sebelum muludan pun kami sudah membicarakannya. Bahkan, tak sabar menunggu muludan tiba.
Saat muludan, masjid di kampungku yang biasanya pelit cahaya, tiba-tiba menjadi terang benderang. Lampu neon 20 watt dari tenaga diesel dipajang berderet. Suasana lebih meriah dengan alunan suara Muthoharoh, penyanyi Qasidah Nasida Ria, dari beberapa speaker kotak berukuran segede gaban ditumpuk menjangkung, diletakkan di pojok depan, mirip penerima tamu….(nasib-nasib….masak kami punya kembaran speaker….)
Entah kenapa, tiap melihat speaker hatiku senang. Pasalnya, speaker, di kampungku kami menyebutnya salon (bukan salon meni pedi ya…), identik dengan keramaian. Maka, wajar jika anak kecil seperti aku bungah tiap ada suara salon. Tetangga ngawinin anak, menyewa salon. Punya hajat nyunatin anak, pasang salon juga. Paling kalau mau agak wah ditambah TV Video. Itu sudah jempol.
Pokoknya, kalau mau ramai harus pakai salon atau sound system. Salon ini lebih modern ketimbang pengeras suara masjid. Sebelumnya, warga kampung memasang speaker sejenis pengeras masjid (kami menyebutnya speker, mungkin maksudnya spiker kali ye…) di atas batang bambu tiap ewoh (punya gawe). Era speker di kampungku berakhir menjelang 90-an. Sama seperti salon, anak-anak akan riang begitu mendengar speker mengalun. Lagunya pun, tak jauh dari Nasida Ria. Kalaupun belok, paling ke dendang Bang Haji Rhoma. Nggak ada yang lain. Jangan berharap lagu mellow-nya Betharia Sonata. Perdamaian perdamaian…Desamu Desaku…Desa yang indah permai…. Bak nyetrum, kepalaku langsung manggut-manggut begitu mendengar lagu kasidah itu…:p
Pergantian speker menjadi salon dimulai begitu ada tetangga kami, namanya Lek Jamiri menyewakan seperangkat kotak pengeras suara berwarna hitam itu. Orangnya pendek, wajahnya pas-pasan. Tapi senyumnya selalu pecah, memamerkan giginya yang seolah menjadi daya tariknya. Sekarang pria murah senyum itu sudah almarhum. Tiap ada tetangga punya gawe, dengan senang hati Lek Jamiri mendorong salon dengan gerobak. Kadang, kalau Lek Jamiri sedang bertugas di tetangga, aku mendekatinya. Dengan muka memelas, aku request lagu. “Lek, mbok sesekali diputar lagu pop,” rajukku. “Walah, ra ono nduk (nggak ada nduk),” jawabnya. Akhirnya aku pasrah begitu ia menyetel lagu Evie Tamala.
Pertama kali melihat kotak hitam bersuara ngebas deng deng deng itu, kami anak-anak kecil langsung lompat-lompat. Persis seperti saat kami mendapat uang recehan dari orang Cina yang datang ke makam. Maklum, di desa kami banyak kuburan Cina. Tiap kaum Tionghoa datang berziarah, aku dan teman-teman kecilku membuntuti mereka. Pasalnya, biasanya mereka membawa uang recehan yang akan dibagikan ke anak-anak. Kami pun mengikuti kalangan kulit putih ini sampai di bong (sebutan kuburan Cina di kampungku). Begitu tahu recehan sudah ada di tangan, kami tak langsung bubar, tapi menunggui mereka sampai pulang.
Nah, malam ini salon Lek Jamari siap mensukseskan muludan. Maidoh dari Pak Kyai pun bisa dinikmati seluruh warga kampung dan tamu dari desa sebelah. Saat melintas di depan deretan speaker hitam ini, siap-siap saja dada akan berdebar-debar. Bukan seperti orang yang lagi jatuh cinta, tapi lebih mirip kejatuhan beribu ton batu. Rasanya der der der der.
Laiknya anak menginjak remaja pada umumnya, aku dan teman-temanku sesekali lirik sana sini sambil mempersilakan tamu yang datang. Siapa tahu ada yang lumayan. Ehem ehem…..Muludan menjadi momen yang kami tunggu. Karena di sinilah kami remaja putri bisa show off. Bahkan, ada temanku yang dekat dan nikah gara-gara candaan waktu muludan. Saat teman-temanku cekikikan, aku biasanya hanya mesem. Jaim ceritanya. Herannya, seleraku sangat berbeda dengan teman-teman ABGku ini. Entahlah, di mataku tak ada yang menarik. Padahal, wajahku biasa-biasa saja. Tapi punya kriteria cowok idaman di atas rata-rata haha. Ini namanya tak tahu diri. Atau tepatnya tak pernah berkaca. Kalaupun ngaca, wajahku nggak begitu jelas sih karena cerminnya buram….:p
Sekitar pukul 20.00 wib acara dimulai dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an dan sambutan panitia. Dilanjutkan dengan uraian dari kepala dusun, lurah, dan camat. Untunglah ketua RT dan RW tidak ikut-ikutan nimbrung memberi sambutan. Walahhh rentetan sambutan sepertinya lebih panjang daripada ceramah mbah kyai. Bagiku, suara mereka seperti angin. Tak kudengar, hanya lewat sesaat. Lelah mendengarkan pidato dari pemuka desa, acara kemudian diselingi break. Hore...ini adalah waktuku dan teman-temanku. Saatnya kami unjuk kebolehan. Di sini kami tidak menyanyi kasidah, berpuisi, atau menjadi saritilawah. Bukan. Kami bergerak lincah di antara pengunjung muludan, sementara tangan kami sigap membagi bentel (nasi dibungkus daun pisang dengan lauk seadanya) yang ditaruh dalam rantangan bambu. Saat inilah kami seperti bintang yang bersinar. Mata pengunjung tak lepas mengarah ke kami. Bukan terpana pada paras kami, tapi mata mereka kelaparan melihat bentel yang kami tenteng.
Acara bagi-bagi bentel yang berlangsung 20 menit, biasanya heboh. Acapkali kami harus sedikit tarik urat kalau ada ibu-ibu yang minta jatah lebih dari satu. Kejadian ini sering terjadi. Akibatnya, tidak semua pengunjung kebagian bentel. Usai membagi bungkusan nasi, kami kembali ke posko makanan. Biasanya di sana berkumpul remaja putra dan putri. Sesekali guyonan terdengar. Saat seperti inilah aku memilih menyelinap kabur keluar. “Mendingan mendengarkan maidoh dari mbah kyai,” kataku dalam hati.
Aku kembali ke tempat jamaah perempuan yang duduk lesehan di plastik terpal. Sembari selonjor, aku menyimak uraian dari mbah kyai. Sesekali kami sholawatan. Sejam kemudian, sekitar jam 22.00 wib acara usai. Kami pun berduyun-duyun keluar dari kompleks masjid menuju rumah masing-masing. Saat berjalan pulang, aku menantikan muludan tahun depan. Membayangkan akan memakai baju kurung, sarung dan kerudung warna apa. Juga baju yang akan dikenakan pasukanku. Ah, peringatan maulud nabi yang seharusnya untuk mengingat sejarah Rasulullah SAW, dalam otakku telah berganti menjadi ajang fashion show. Duh, ampuni aku kanjeng nabi. Sungguh, bukan maksud hati untuk melupakanmu. Tapi bagaimana lagi, di kampungku jarang ada pesta. Satu-satunya keramaian yang ada ya pas maulid nabi…Speaker masjid masih mengalun…Sholatullah Salamullah Ala thoha Rosulillah….