Rabu, 29 Juli 2009

"Dari Bemo Menyekolahkan dan Mengawinkan Anak"


Wajah laki-laki tua itu tampak kecewa, tiap menerima pembayaran ongkos penumpang. Di bemo tuanya jelas terpampang tulisan besar Rp 2500. Bisa jadi, karena penumpang membayar di bawah harga. Ketika penumpang satu per satu turun, dan tinggallah aku dan bapak tua, penumpang di samping sopir, aku mencoba mencairkan suasana. "Gimana Pak, ramai pagi ini?" tanyaku tersenyum.
Bapak tua itupun menoleh ke arahku yang berada di jok belakang. "Ya...seperti biasanya neng, sepi." Ia menambahkan, "Sejak kredit sepeda motor mudah, orang memilih beli motor daipada naik bemo." Menurutnya, penghasilannya turun drastis, sejak masyarakat lebih memilih nyicil motor. "Pemasukan turun banyak pokoknya. Nyari duit susah," keluhnya.
Tapi, Pak Asep Suryantana, demikian nama panjangnya, tetap bersyukur. "Alhamdulillah, anak-anak sudah lulus sekolah aliyah semua (MAN, setingkat SMU," syukurnya. "Tidak kebayang kalau anak Bapak masih sekolah. Sepertinya Bapak tidak bisa menyekolahkan mereka dengan penghasilan sekarang," imbuhnya.
Pak Asep, lelaki tua berusia 60 tahun itu telah 'mengabdi' menjadi sopir bemo sejak 25 tahun silam. "Dulu Bapak bisa dapat uang Rp 300 ribu. Sekarang boro-boro. Kadang Bapak tidak bisa mengejar jumlah setoran sehari Rp 40 ribu ke pemilik bemo ini," ujarnya. "Kalau tidak dapat Rp 40 ribu gimana Pak," tanyaku prihatin. "Ya ngutang neng," jawabnya.
Akibat sepinya penumpang, kakek tujuh cucu ini jarang pulang menemui istri dan anak cucunya yang berada di Bandung. "Kalau pulang ke rumah, harus bawa uang paling sedikit Rp 300 ribu. Itupun habis buat ongkos," tutur ayah dari empat orang anak itu.
Ketika ditanya tentang rencana penghapusan armada demo di Jakarta, Pak Asep berujar lirih," Kalau mau dihapus pemerintah, rakyat kecil bisa apa, ya ngikut aja neng. Bapak mau dagang di kampung, kalau tidak bisa narik bemo lagi. Bapak bersyukur, dari bemo ini Bapak bisa menyekolahkan anak dan mengawinkan mereka," pungkasnya. Tak terasa, perbincangan kami pun harus berakhir. Karena aku sudah sampai lokasi yang kutuju. Kuselipkan uang sepuluh ribuan ke pahlawan keluarga itu yang wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya. "Terima kasih banyak neng," ujar Pak Asep di tengah raungan mesin bemonya....

Sabtu, 25 Juli 2009

Mengasong Hidup di Sudirman


Mataku nanar menyapu trotoar Jalan Sudirman. "Nenek kok tidak ada ya," ujarku cemas. Kekhawatiran sempat memenuhi pikiranku. "Jangan-jangan......." Tiba-tiba ada suara seperti memanggilku. "Nak Susan, lama ga kelihatan," ujar mbah Sulami, nenek pedagang asongan, sambil memarkan deretan giginya yang tinggal satu dua. "Alhamdulillah," kata batinku lega. Oalah...ternyata lokasi jualan mbah agak jauhan dari biasanya. "Mbah kira sudah pindah kantor Nak," imbuhnya kala aku menyalaminya.
Jumat pagi itu, seperti biasa mbah Sulami ngasong di trotoar Sudirman dekat Pasar Bendungan Hilir. Sebuah payung usang melindunginya dari sengatan matahari yang mulai terik. Dagangannya berupa tissue, air mineral, minuman ringan, dan rokok ditaruh dalam dua kardus. Kala sedang ngobrol denganku, ada seorang wanita kantoran membeli tissue.
"Mbah, gimana kabarnya," ujarku. "Alhamdulillah baik Nak," kata Mbah Sulami yang hidup sebatang kara di ibukota. Ia pun bercerita tentang dagangannya yang dicuri orang. "Kemarin ada yang ngambil sebungkus rokok Nak." "Mbah memang ke mana?" "Mbah lagi ke pasar sebentar,eh sebungkus rokok langsung hilang." "Sabar ya mbah," ujarku sok bijak dan menasehati...:p
Beberapa minggu ini, Mbah Sulami harus 'maen petak umpet' sama petugas Satpol PP. "Minggu kemarin Mbah sudah mau ditangkap Nak," ujarnya. "Terus, mbah gimana waktu mau ditangkap?" tanyaku. "Mbah nangis dan bilang ma petugas, kalau mau diangkut, angkut saja. Mbah ga selamanya di sini. Mbah bukan pengangguran. Mbah di sini nyari makan, Mbah ga mau nyusahin orang lain dan pemerintah." "Akhirnya mbah?" "Ya ga jadi Nak," ujarnya. Seminggu sebelumnya, kata Mbah Sulami, juga ada operasi. "Mbah sembunyiin dagangan mbah," tuturnya.
Aku ga bisa mbayangin, Mbah Sulami, nenek renta berusia 95 tahun harus bolak balik mindahin barang-barang dagangannya saat digelar operasi. Hatiku pun trenyuh. Tapi, aku mendapat pelajaran sangat berharga, sebuah perjuangan hidup. Di usianya yang hampir seabad, Mbah Sulami tetap tegar mengasong di jalanan untuk melanjutkan kehidupan. Tidak ada keluhan, mengapa ia harus menjalani hidup seperti sekarang. Pagi sampai sore berdagang asongan, malam tidur sendirian di los pasar Benhil Sudirman.
"Mbah, mbah ga mau pulang kampung, di sana lebih tenang dan aman buat mbah" ujarku lembut. "Mbah tidak punya siapa-siapa di kampung Nak," ujarnya tersenyum. Suami mbahsudah berpulang ke Sang Khalik, imbuhnya. Ia juga tidak punya anak. "Ada saudara. Tapi mbah ga enak kalo numpang, ga mau ngerepotin saudara," terangnya. Percakapan kami berlangsung sekitar 15 menit, karena aku harus kembali melanjutkan perjalananku. "Mbah, saya pamit dulu ya. Mbah baik-baik ya. Jangan lupa berdzikir dan sholat ya Mbah," ujarku sambil menyalaminya dan memberikan selembar daun.....eh uang. "Makasih banyak Nak Susan. Hati-hati di jalan ya," ujarnya tulus. Kembali Mbah seorang diri di antara hingar bingar kehidupan Metropolitan dan asap knalpot kendaraan. Mudah-mudahan Sang Pemilik Kehidupan selalu melindunginya dan memudahkannya dalam kesulitan hidup yang menderanya. Semoga.