Minggu, 10 Oktober 2010

Nasib Ritel Pangan Lokal: Menjadi ‘Tamu’ di Negeri Sendiri

Kondisi ritel pangan lokal saat ini boleh dibilang di ujung tanduk. Selain harus bertahan di tengah serbuan produk impor, makanan warisan leluhur itu juga bertarung dengan perubahan selera lidah masyarakat yang gandrung makanan cepat saji, dan regulasi yang tidak mendukung. Keberpihakan pemerintah, masyarakat, dan stakeholder menjadi kunci penting keberlangsungan ritel pangan lokal.
Kekecewaan terilhat di raut Iwan, asisten manager sebuah perusahaan konsultan di Jakarta kala berlalu dari sebuah rumah makan di kota minyak di Kalimantan. Ia berharap bisa memanjakan lidahnya dengan suguhan masakan lokal. Sayangnya, hingga hari terakhir di kota itu, laki-laki berusia 30 tahunan itu tidak menemukan restoran bermenu lokal. “Rata-rata menu nasional dan junk food,” ujar pria berdarah Jawa yang lahir dan besar di Jakarta ini.
Lain cerita ketika ia ditugaskan di Makassar, Sulawesi Selatan. “Wah, saya puas banget mencoba berbagai makanan di daerah ini. Menu yang tak pernah ketinggalan adalah ikan,” katanya dengan mata berbinar. Sandiaga S. Uno, pengusaha nasional, ketika bertandang ke Semarang bertanya makanan apa yang harus dicoba di kota atlas itu lewat akun facebooknya. Jawaban yang muncul pun bisa ditebak. Mulai dari lumpia, wingko, soto Semarang, sate, ayam bakar, dll.
Setiap bertandang ke suatu daerah, kita akan terkaget-kaget dengan kuliner setempat yang beragam. Meski ada beberapa daerah yang miskin penganan lokal. Kadang kita menjumpai jenis makanan yang sama dengan daerah lain, tapi namanya beda. Misalnya masyarakat Jawa Tengah bagian utara menyebut makanan dari bahan ketan dengan isi kacang di dalamnya dengan nama dumbek. Sementara orang Sunda menamai kue basah itu dengan sebutan bacang.
Uniknya, sesama masyarakat Jawa kerap tidak sama menyebutkan satu jenis nama makanan. Contohnya kue nogosari yang terbuat dari tepung terigu dengan isi pisang. Sebagian masyarakat pesisir Jawa menamainya ciklek.
Kendati kuliner lokal memiliki potensi besar untuk berkembang, keberadaannya kini mulai tergilas oleh makanan cepat saji yang berasal dari luar negeri. Melihat berlimpahnya pangan global baik fast food hingga bahan makanan jadi, menyebabkan makanan lokal kita tidak lagi menjadi tuan rumah, tetapi tamu di negeri sendiri.
Proteksi, Sosialisasi, dan Festival Kuliner
Serbuan pangan global telah merubah selera lidah sebagian masyarakat dari makanan tradisional ke sajian cepat saji atau fast food. Tengoklah ke resto-resto kota besar, sebagian besar menjajakan menu makanan asing. Malangnya, kelangkaan makanan tradisional tidak hanya melanda kampung beton. Di desa-desa pun kini sebagian makanan tradisional kini menghilang. Seperti kue puntir, walang-walang, rondo royal yang sangat sulit ditemui di daerahku, Lasem, Jawa Tengah.
Jika kesadaran masyarakat melestarikan pangan tradisional terus menipis, mungkin 15 tahun lagi generasi sekarang tidak mengenal thiwul, ongol-ongol, gethuk, grontol, carabikang, dll. Minimnya konsumsi pangan tradisional secara langsung juga berpengaruh pada budidaya sumber makanan lokal seperti singkong, ubi, jagung, dll. Jika permintaan jarang, maka petani kita akan enggan menanam.
Dr Murdijati Gardjit, ahli makanan tradisional dari Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) UGM Yogyakarta, di situs Gatra.com mengatakan bahwa penganan tradisional berbahan baku lokal lambat laun terancam punah, karena lemahnya sosialiasi dan proteksi pemerintah. "Dengan banyaknya bermunculan makanan modern atau cepat saji, makanan tradisional terancam punah jika tidak ada proteksi dan dimulai dari dapur kita sendiri," jabarnya. Menjamurnya makanan cepat saji menyebabkan makanan tradisional berbahan baku lokal dilupakan, imbuhnya.
Mulai dari dapur sendiri, artinya setiap keluarga memasak sendiri makanan yang akan disajikan. Karena, kata Murdijati, salah satu faktor penyebab tepuruknya makanan tradisional adalah kebiasaan masyarakat sekarang yang memilih jalan pintas jajan di restoran atau warung makan ketimbang menyalakan api dapurnya sendiri.
.
Selain proteksi, kata Murdijati, perlu dilakukan sosialisasi. Semua elemen baik masyarakat, asosiasi jasa boga dan pemerintah harus ikut aktif mensosialisasikan makanan tradisional berbahan baku lokal, imbuhnya.
Salah satu contoh kegiatan sosialisasi yang bisa dilakukan adalah menyelenggarakan festival kuliner warisan leluhur. Dari lingkup paling kecil seperti RT, RW, kecamatan dan kabupaten menggelar kegiatan ini setahun sekali. Festival diisi dengan pameran makanan tradisional dan lomba memasak. Selain itu juga perlu diadakan lomba memakan bagi remaja dan anak-anak untuk mengenalkan kekayaan kuliner leluhur.
Peningkatan Mutu, Pengemasan, dan Inovasi
Kemasan menarik dan kesan modern menjadi salah satu daya tarik fast food. Agar masyarakat tertarik pada makanan tradisional, sebisa mungkin kemasan makanan tradisional dibuat eye catching. Kita bisa mencontoh produk makanan kecil di Cina yang dikemas dengan bungkus menarik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mutu makanan. Kualitas makanan harus bagus dengan pemilihan bahan lokal berkualitas. Lebih baik jika dilengkapi dengan izin dari BPOM dan labe halal untuk menjamin keamanan dan menambah kepercayaan konsumen.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk mencuri hati konsumen adalah melakukan inovasi pangan. Kue tradisional seperti getuk yang semula hanya terbuat dari singkong bisa ditambah dengan keju sehingga melahirkan varian baru. Hal ini berlaku untuk penganan lain. Kita bisa memadukan bahan makanan lokal standar dengan produk pangan global.
Kampanye Hidup Sehat
Eksistensi makanan tradisional akan kembali berkibar jika kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat kian meningkat. Salah satu faktor pendukung gaya hidup sehat adalah pola makan. Banyaknya penyakit degeneratif yang menyerang masyarakat modern salah satunya disebabkan junk food atau makanan sampah yang kaya kolesterol dan minim gizi.
Murdijati seperti yang tertulis di Gatra.com menilai masyarakat sekarang lebih mengejar kenikmatan ketimbang manfaat yang terkandung dalam makanan. “Saat ini orang lebih cenderung berpikir instan dalam memilih makan sehingga kurang mempertimbangkan kandungan dan nilai gizi dalam makanan tersebut. Sehingga tidak heran saat ini banyak warga yang menderita penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, koleseterol.”
Prof dr. Muhammad Sulchan, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di salah satu artikel di suarakarya-online.com juga mengungkapkan junk food menjadi salah satu pemicu penyakit kanker. “Globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem ritel pangan, yang ditandai dengan menjamurnya hypermarket, restoran cepat saji, waralaba, food court dari berbagai penjuru dunia yang sebagian besar menyajikan junk food atau makanan sampah dengan resiko terkena kanker sangat tinggi,” papar Sulchan. Proses pengolahan dan pematangan fast food beresiko menyebabkan kanker, imbuhnya.
Guna mengurangi kanker, Sulchan menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengkonsumsi makanan lokal berbahan baku alami dan diolah secara tradisional. Ia menambahkan mengkonsumsi tahu dan tempe dari kedelai lokal lebih sehat ketimbang kedelai impor.
Bersinergi atau Membatasi Ritel Modern?
Sejengkal kaki melangkah di jalanan ibukota, kita akan menemui ritel modern baik dari dalam negeri maupun asing. Entah itu minimarket ataupun area shopping mall. Sehingga, bisa dibilang sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan ritel moderen.
Ritel modern jumlahnya terus menggunung meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 44 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran Swasta di DKI Jakarta. Aturan ini menegaskan jarak minimal pasar tradisional dengan ritel modern sekitar 2,5 km.
Realitanya, kita kerap menemui tiadanya jarak antara ritel modern dengan pasar tradisional. Dan ini sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, antara satu ritel modern dengan yang lain jaraknya hanya satu depa atau hanya dipisahkan oleh tembok.
Meski kondisi di lapangan berkata tidak ada zonasi, dan aturan hanya tinggal sebuah tulisan di atas kertas, seorang pejabat di Pemprov DKI Jakarta seperti yang dimuat di mediacenterkopukm.com mengatakan zonasi tetap berlaku. Namun, buru-buru ia menambahkan, sepanjang barang yang diperjualbelikan berbeda tidak ada masalah. Lemahnya pengawasan pemerintah member ruang gerak selebar-lebarnya bagi peritel asing.
"Aturannya sudah tepat, tapi yang masih lemah adalah pengawasan pelaksanaan peritel asing," kata dia.
Dengan masifnya jumlah mereka, bisa dipastikan makanan tradisional pun menyurut. Pasalnya, sebagian besar content makanan yang dijual adalah produk pangan global. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, upaya yang bisa dilakukan sekarang adalah bagaimana ritel-ritel itu memberi ruang bagi produk makanan tradisional kita. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian berencana meningkatkan volume penyerapan pangan lokal skala industri kecil dan menengah pada ritel modern menjadi 25%. Hingga tahun 2009 penyerapan usaha ritel produk IKM pangan lokal ke area perbelanjaan modern baru sekitar 10%.
Tahun 2007 jumlah IKM pangan lokal yang memproduksi makanan tradisional sebanyak 140 ribu unit dengan konsentrasi terbesar di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan mencapai 340 ribu orang. Berdasarkan data Depperin seperti yang dimuat di situs kontan.co.id, jumlah IKM pangan pada 2008 tercatat 18.064 unit dengan tenaga kerja sebanyak 57.438 orang. Jika mengacu data terakhir (2008) berarti ada penurunan IKM secara kuantitas.
Namun, peningkatan daya serap tidak cukup tanpa membatasi keberadaan ritel modern. Bagaimana mungkin pangan lokal bisa berkembang jika ia hanya menjadi tamu di area ritel modern yang kini menjajah ruang perkotaan hingga perkampungan. Sudah saatnya pemerintah sungguh-sungguh memberikan nafas bagi ritel pangan lokal untuk menghidupkan makanan tradisional.
Waralaba Pangan Berbahan Lokal
Potensi makanan lokal yang besar namun belum tergali secara optimal bisa diselesaikan dengan mewaralabakan pangan lokal. Tentunya sebelum menjadi item waralaba dan business opportunity (BO), produk tsb telah dikenal dan digemari masyarakat. Sayangnya, beberapa tahun terakhir, dari sekian banyak waralaba pangan lokal berbahan lokal hanya sedikit yang mampu bertahan.
Tiga tahun lalu BO minuman teh kemasan sangat menjanjikan. Dengan modal kecil sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 4 juta sudah bisa membeli BO minuman teh kemasan. Omset yang diperoleh pun terhitung lumayan. Namun, seiring kian banyaknya pemain sejenis, maka omset bisnis minuman ini pun mulai menurun. Seorang teman yang memiliki satu booth minuman teh kemasan mengeluh. “Boomingnya hanya tiga tahun,” ujarnya.
Nasib serupa juga dialami BO lain seperti singkong keju yang laris manis bak kacang goreng sekitar dua tahun lalu. Lalu banyak orang bermain di bisnis ini. Hasilnya, kompetisi pun kian ketat. Bahkan, kini kita jarang menemui lagi singkong keju yang biasanya dijajakan di gerobakan.
Pelaku usaha yang akan mewaralabakan produknya seharusnya memiliki plan business, riset matang tentang pengembangan produk, SDM, dan pemasaran. Sehingga, umur usaha tidak sesingkat tanaman jagung. Mereka harus banyak belajar pada waralaba asing yang bisa menyebar produknya di seantero dunia. Meski ada beberapa waralaba makanan lokal yang masih eksis hingga sekarang, sayangnya mereka mengembangkan makanan asing dengan bahan baku impor. Sehingga, perkembangan usahanya tidak berpengaruh pada kemajuan pertanian kita.
Permodalan dan Perizinan
Salah satu kendala yang dihadapi sebagian besar pelaku industri pangan lokal adalah permodalan. Saat ini pemerintah mengeluarkan program KUR atau kredit usaha rakyat yang bertujuan membantu akses permodalan bagi pelaku IKM. Sayangnya, hanya sebagian dari pelaku UKM di bidang pangan yang di-cover modal perbankan. Selebihnya masih terjerat bunga panas rentenir.
Sejatinya pemerintah telah berupaya memperluas akses pembiayaan KUR dengan menggandeng Bank Pembangunan Daerah sebagai bank semula. Semula KUR hanya disaurkan enam bank nasional. Lagi-lagi kondisi di lapangan tidak semanis kesepakatan yang telah disetujui. Banyak dana KUR yang akhirnya hanya parkir.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam men-support pangan lokal adalah perizinan usaha. Sejumlah pelaku UKM di bidang pangan mengeluhkan lamanya proses perizinan di BPOM (Badan Pengawasan Obat dan makanan). Hal tersebut sangat kontras dengan izin impor yang terbilang kilat.
Ketua Apindo Sofyan Wanandi seperti dikutip di bisnis Indonesia.com menegaskan jika pemerintah serius mendukung industri dalam negeri, proses perizinan di BPOM diharapkan dipermudah dan dipersingkat. "Kasihan industri kita ini, dipersulit, diputar-putar. Paling cepat 7 bulan mereka mengurus perizinan. Rata-rata di atas 1 tahun, bahkan ada yang 2 tahun."
Sangat disayangkan dan menjadi kerugian besar bagi bangsa ini jika generasi mendatang hanya mengenal donat, fried chicken, burger, wafel, es krim, pancake, french fries, kebab, dll yang notabene merupakan produk asli luar dengan bahan baku impor. Sementara makanan tradisional berbahan baku lokal terlantar dan tidak dipedulikan.
Sudah menjadi keharusan ketika sebagian dari kita terbiasa mengkonsumsi makanan luar, pangan lokal pun juga dikenal di negeri orang. Bukan sebaliknya, pangan global menjajah kita, sementara pangan lokal mati secara pelan-pelan. Saya membayangkan penganan tradisional kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa go international dan diwaralabakan. Ah, akankah mimpi itu menjadi kenyataan? Atau hanya khayalan yang tetap menggantung di awan-awan. Pangan lokalku, ah nafas kehidupanku.

Susan Sutardjo