Rabu, 26 Agustus 2009

Support Untuk Yulia



Tubuh yang tergolek lemah di kasur kapuk lusuh dan usang itu nyaris tinggal kulit dan tulang. Kakinya yang mengecil, berminyak dan kehitaman. ”Itu minyak, obat dari Pak Ustadz San,” ujarnya tersenyum. ”Rabbi....,” sebutku dalam hati, aku shock, kala melihat batok kepalanya mengecil, matanya cekung dan bentuk mukanya sangat menyedihkan. Bahkan, aku tidak mengenalinya lagi. Tuhan, sedemikian parahnya kondisi temanku ini.
Gadis malang yang kini tengah lumpuh tak berdaya itu bernama Yulia, teman kuliahku di Sastra UI. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Karena, sebelum aku menjenguknya, aku sering ngobrol dengannya by phone. Ia selalu ceria. Bahkan, ia tak pernah menyinggung soal penyakitnya jika tidak aku minta. Yulia lebih banyak cerita soal hal yang menyenangkan sebelum ia jatuh sakit. Aku pun mengira kondisinya tidak menyedihkan seperti ini. Hatiku teriris.
Aku kemudian keluar kamar sederhana itu untuk bersalaman dengan ibunya Yulia. ”Rabbi...,” hatiku kembali trenyuh. Ibunya Yulia ternyata tidak bisa melihat. Sebelum bertandang ke rumahnya, Yulia pernah cerita jika ibunya buta. Ibunya tidak bisa melihat lagi ketika Yulia masih kuliah. Sementara bapaknya sudah sepuh dan tidak bekerja lagi. ”Dulu Bapak sopir San,” ceritanya. Saat ini, untuk membiayai kebutuhan sehar-hari, keluarganya dibantu salah satu kakaknya. ”Alhamdulillah, ada satu kakakku yang bisa membantu,” ujarnya kepadaku suatu ketika.
Rasa iba dan sedih, sekejap berganti dengan salut setelah melihat keikhlasan hati perempuan sepuh berjilbab hitam itu. Bu Sairah, namanya. ”Beginilah kondisi kami nak Susan. Alhamdulillah. Ayo duduk, duduk. Terima kasih sudah datang menjenguk Yulia. Mau minum apa,” ujarnya hangat ke aku dan Epi, temanku. ”Ibu, tidak usah repot ya,” ujarku hampir berbarengan dengan Epi.
Kami pun kembali ke kamar Yulia. ”Gimana kondisimu Yul,” tanyaku. ”Alhamdulillah...baikan. Untung kalian datang ke sini tubuhku dah bersihan,” ujarnya tersenyum. ”Loh memangnya kenapa?” tanyaku. ”Nih habis ambrol,” jelasnya. ”Maksudnya?” tanyaku lagi. ”Ya, tiap berapa hari, keluar nanah dan darah dari pori-pori kulitku. Kalau melihatnya pasti jijik. Alhamdulillah, kalian datang pas aku bersihan,” jelasnya.
Sesaat kemudian, ayahnya Yulia masuk kamar mengantarkan minuman dan kacang goreng. ”Ayo diminum dan makan kacangnya mbak,” ujarnya. ”Makasih Pak,” jawab kami serentak kayak pasukan militer....:p ”Subhanallah, kala dalam kesempitan dan kesusahan, mereka masih mau berbagi dan menjamu tamu,” kataku dalam hati. Tak berapa lama, gantian ibunya Yulia, minta kipas angin dinyalakan saja. ”Kayaknya panas, kipasnya tolong dinyalakan saja dik,” pintanya sambil menggendong keponakan Yulia. ”Ga kok bu, makasih,” balasku dan Epi.
Kami pun kembali ngobrol. Yulia tetap semangat. Tidak tersirat kekesalan dan keputusasaan di wajah Yulia atas ujian berat yang menderanya. Karena tak ingin membuatnya sedih, aku pun tak banyak nanya soal penyakitnya. Justru ia mengajak kami bercanda dan ngobrol soal teman-teman kuliah dulu. Acapkali tawa Yulia lepas. Sesekali ia juga melucu. ”San, kalau kisahku dibikin buku, bisa-bisa terus bersambung deh, ga ada habisnya. Kalau difilmkan, juga akan berseri-seri,” ujarnya tertawa. Kami pun tertawa mendengarnya.
Suatu siang di tahun 2004, saat Yulia baru enam bulan bekerja di perusahaan swasta, badannya panas dan menggigil gemetaran. ”Aku kira cuma ga enak badan San,” ujarnya. Namun, saat berada di angkot dalam perjalanan pulang kantor, ia mendapati ada yang aneh dengan jari kakinya. ”Ki, kenapa jari-jari kakiku membengkak?” katanya kepada Kiki, teman kuliah yang kebetulan sekantor dengannya. Mereka pun bingung dan khawatir. Sesampai di rumah, Yulia mengobati jari kakinya seadanya.
”Besoknya San, tiap kena sinar matahari, jari kaki dan tanganku membengkak dan merah,” ujar Yulia. Sejak itu, kondisi Yulia kian memburuk. Hingga suatu siang, dari jari kakinya keluar nanah. ”Jari kakiku yang bengkak-bengkak pada pecah mengeluarkan nanah,” ceritanya.
Keluarga memutuskan Yulia dirawat di sebuah RS pemerintah di Jakarta Selatan. Namun, bukan membaik, tapi penyakitnya tambah parah. “Kakiku dioperasi San. Tapi, bukan tambah baik, malah semakin parah. Bengkaknya semakin besar,” ujar Yulia. Oleh dokter RS tersebut, Yulia divonis menderita penyakit lupus. “Memangnya ada tanda kayak kupu-kupu di wajahmu Yul?” tanyaku. “Ga, tapi kalau kena sinar matahari kulitku langsung merah, membengkak,” jelasnya.
Melihat kondisi Yulia yang makin parah, pihak RS itu angkat tangan. Mereka merekomendasikan Yulia dirawat di salah satu RS swasta yang terbilang bagus. Yulia kemudian diboyong di RS yang sering merawat para pejabat itu. ”Gimana Yul, setelah di rawat di sana?” tanyaku. ”Tidak ada perubahan San,” katanya. Anehnya, menurut diagnosa dokter di RS ini, Yulia mengidap kanker kulit. Entahlah yang benar yang mana. Yang jelas, Yulia lumpuh, tidak bisa berjalan. ”Aku tidak bisa jalan sejak tahun 2005 San,” ujarnya.
Keluarga sudah habis-habisan membiayai pengobatan Yulia. Terlebih, bapaknya sebagai tulang punggung keluarga sudah tidak bekerja lagi. Karena kondisi keuangan yang semakin sulit, akhirnya Yulia pasrah. “Kakakku membawaku ke pengobatan alternatif. Mulai herbal, ruqyah, hingga metode lain,” ujarnya.
Belakangan, Yulia dibawa ke seorang ustadz di daerah Petukangan Jakarta Selatan. ”Alhamdulillah mendingan San. Tapi, karena mau bulan puasa, ga praktek, libur,” ujarnya. Saat ini, Yulia juga menjalani pengobatan transfer energi. ”Pokoknya ikhtiar, Allah pasti memberi kesembuhan,” ujarnya tersenyum. Padahal, saat ia ngomong hal itu, aku nyaris menangis.
Melihat ketabahan, keikhlasan, keteguhan hati dan kesabarannya, aku pun malu. Bahkan kala aku ingin membesarkan hatinya, aku juga tak sanggup. Sungguh, aku malu dengan kesabaran hatinya. ”Yul, aku ga bisa ngomong banyak. Karena aku yakin, kamu lebih paham atas semua cobaan ini,” ujarku. ”Ngomong saja San. Alhamdulillah, banyak sekali hikmahnya. Aku bersyukur, Allah memberi sakit ini setelah aku lulus kuliah. Aku sangat bersyukur,” ujarnya. Rabb...dalam kondisi seperti ini, syukurnya masih menggema. Akupun lantas melihat diriku yang sering mengeluh dan kerap lupa atas nikmat-Nya. ”Ampuni aku Tuhan....,” batinku.
Dalam perjalanan pulang dari rumahnya yang berada di gang sempit di kawasan padat penduduk belakang Kostrad, Gandaria Jakarta Selatan, aku masih terngiang ucapan Yulia. Namun, tangisku langsung pecah kala aku berada di dalam mobil. ”Tuhan, dibalik tubuhnya yang kian menyusut dan lumpuh, ia punya jiwa besar dan tegar. Lindungi Yulia, berikan kesembuhan untuknya,” ujarku di sela tangisku.
Pagi ini, aku menerima sms dari Yulia. Sungguh, tergambar sebuah kesabaran dan keihlasan hati anak manusia dalam menghadapi cobaan dari Sang Pemilik Kehidupan. ”Sungguh San, ada banyak hikmah di balik semua ini. Aku jadi tahu, manusia itu benar-benar makhluk lemah. Kekuasaan, kehidupan, dan kesembuhan hanya milikNya, Allah azza wa jalla.”
Yulia temanku yang manis, yang lincah, ceria, saat ini hanya bisa terbaring. Bahkan, untuk duduk pun ia tak sanggup. Nyaris sepanjang hari ia hanya bisa mendengarkan ceramah keagamaan dari radio mungilnya yang ia letakkan di dekat kupingnya. Cita-citanya untuk membahagiakan orang tuanya dan memperbaiki ekonomi keluarga, direnggut penyakitnya. Hanya enam bulan ia bekerja. Setelah itu, ia menjalani hari-harinya dengan pengobatan dari dokter satu ke dokter lain, dari herbalis satu ke tenaga alternatif lain. ”Jika berobat, aku dibopong San,” tuturnya. Padahal, ia sama seperti aku dan lainnya. Punya hak untuk hidup lebih baik. Tapi, semua itu, saat ini seakan sirna dari hidupnya.
”Rabbi, Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, berilah kesembuhan dan yang terbaik untuk Yulia,” doaku dalam sujudku. Teman-teman, mohon keikhlasan doa untuk kesembuhan Yulia. Terima kasih atas support-nya.

1 komentar:

Bunda Zilah mengatakan...

Subhanallah..
Sungguh Yulia seorang yg sabar dan ikhlas..
Semoga Allah memberikan kesembuhan atas penyakitnya..
Amin