Sabtu, 20 Juni 2009

Semangat Seorang Penjaja Roti


"Mbak,kok ga keliling," tanyaku pada pedagang roti keliling yang biasa ngider di stasiun Tebet. "Tuch... di seberang ada tramtib," ujarnya melihat tramtib yang berada di peron jurusan Bogor. Alhasil, Rabu pagi ini (22/4), perempuan penjaja roti bernama Tutik itu hanya duduk manis di bangku penumpang KA sambil sesekali menawarkan roti ke penumpang yang melintas di depannya.
"Sekarang jam berapa sih mbak?" tanya perempuan asal Purwodadi dengan logat Jawa yang masih kental. "Jam 08.00 WIB mbak, kenapa?" "Biasanya mereka (tramtib) ke sini jam 9 pagi," jelas Tutik. "Kalau mereka ada di sini, saya ya hanya diam gini. Nurut saja lah, ntar kalau keliling malah ditangkap," keluh Tutik. "Pernah ditangkap?" "Ga pernah. Saya selalu mematuhi perintah mereka. Kalau disuruh keluar stasiun ya keluar. Kadang saya juga menawarkan roti ke para petugas itu. Lagian saya ini niatnya nyari rezeki halal. Mereka menjalankan tugasnya, saya juga kerja," jelasnya kalem.
"Dari dulu jualan roti?" "Nggak mbak, tadinya saya babby sitter. Setelah nikah milih dagang roti. Biar ga tergantung pada orang, waktunya bebas, sekalian bisa ngawasin anak," ujarnya. Tiap hari, Tutik berkeliling dengan sepedanya menawarkan roti. "Saya jualan di sekitar rumah saya,tuch di sebelah situ," Tutik menunjuk lokasi rumahnya yang berada di sebelah selatan stasiun Tebet.
Jam 07.00 pagi Tutik mulai ngasong di stasiun Tebet. "Sepeda saya titipin dekat stasiun," ujarnya. Biasanya, jam operasi jualan roti di stasiun berlangsung hingga pukul 09.00 WIB. "Kadang juga cuma sampai jam 08.00 WIB seperti sekarang karena sudah ada tramtib," jelasnya.
"Jualannya hanya sampai jam 09.00?" "Ya nggak lah mbak, pagi sampai jam 11.00 WIB, tapi ga di stasiun lagi, keliling naik sepeda di pemukiman penduduk," ujarnya. "Terus?" "Nanti jam 17.00 WIB saya jualan lagi sampai jam 20.00 WIB kadang di stasiun kadang juga ngider," jelasnya.
Dalam sehari, Tutik mampu menjual 20-an bungkus roti tawar dan 30-an roti manis. "Tapi kadang bisa lebih dari itu,"ujarnya. Dengan tren penjualan seperti itu, sehari Tutik bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu untuk dibawa ke rumah. "Untuk mbantu suami dan membiayai sekolah anak," ujar Tutik tersenyum.
Nggak berselang lama, petugas tramtib di peron seberang memberi kode agar Tutik menyingkir dari stasiun. "Mbak, saya pergi dulu ya. Makasih," ujarnya buru-buru mengambil nampan rotinya sambil memberikan dua roti mamis yang aku beli. Melihat semangatnya, aku jadi teringat spirit ibuku, mbakku dan jutaan perempuan lain di negeri ini yang berjuang untuk keluarga dan anak-anaknya menjadi generasi masa depan.

Tidak ada komentar: