Kamis, 25 November 2010

Rezeki Allah itu Luas

Selasa siang (9 Nov) aku kedatangan tamu istimewa. Mantan cleaning service (CS) di kantor, sebut saja namanya Maman. Tubuhnya terlihat lebih kurus dalam balutan jaket hitam. Terakhir ketemu, Maman sedang menganggur. Ceritanya, ia keluar karena memperoleh pekerjaan baru di bidang ekspedisi. Sepintas, pekerjaan baru Maman lumayan menggiurkan.
“Gajinya lebih besar di sana mbak,” kata Maman sumringah saat pamitan.
Aku lega Maman memperoleh pekerjaan lebih baik. Terlebih istrinya kala itu baru saja melahirkan anak pertama dan keluar dari pekerjaan sebagai buruh pabrik.
Sekitar dua bulan kemudian, Maman datang lagi ke kantor.
“Kok main ke sini, memangnya nggak kerja,” tanyaku.
“Saya sudah tidak kerja lagi, Mbak,” balasnya.
“Memangnya kenapa Man?”
“Gajinya habis untuk membeli bahan bakar, Mbak. Masak untuk mengantarkan barang harus menggunakan sepeda motor dan bensin dari kantong sendiri,” keluhnya.
Sebenarnya Maman tahu, pilihan keluar bukan jalan terbaik. Karena, ia sangat membutuhkan uang untuk membiayai keluarganya.
Guna menambal kebutuhan keluarga, Maman menjadi guru ngaji di sebuah mesjid di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
“Alhamdulillah, masih mendapat rezeki dari orang tua murid,” ujarnya tersenyum.
Meski demikian, keuangan keluarga Maman kian limbung. Maklum, honor guru ngaji sangat tiris dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beruntungnya, dua bulan kemudian datang panggilan kerja sebagai security di rumah salah seorang istri pengusaha di Kemang. Namun, pergolakan batin ia alami ketika bekerja di sini.
“Saya sering bertanya, sumber uang ini haram atau halal,” terangnya menjelaskan asal muasal uang majikannya yang menurutnya menyalahi norma.
Dalam kebimbangan itu, ia memutuskan keluar. Ia kemudian melamar di sebuah perusahaan yang menangani maintenance beberapa gedung di kawasan Jakarta Selatan.
“Alhamdulillah, diterima. Dari 200 pelamar, saya termasuk 12 orang yang diterima,” ujarnya. Meski, bidang pekerjaannya lumayan berbahaya, membersihkan kaca gedung dengan gondola.
“Ada saudaraku yang bilang, kerjaan kayak gitu kok diterima,” kata Maman menambahkan,” Kujawab aja Mbak, daripada anak istri gue nggak makan?”
Meski bertaruh nyawa, Maman sangat bersyukur dengan gawean anyarnya.
“Alhamdulillah kantor ngasih gaji lumayan mbak ,” kata Maman bungah.
Dalam sebulan ia mengantongi gaji hampir Rp 2 juta dipotong jamsostek dan asuransi kesehatan.
Jam kerjanya juga terbilang lengang.
“Sore jam 3 sudah bisa pulang,” kata Maman.
Yang paling membuat Maman senang, ia diangkat menjadi karyawan tetap. “Selama ini saya jadi CS selalu kontrak, Mbak. Di sini saya diangkat menjadi karyawan tetap. Jadi ada karir mba, Alhamdulillah,” ujarnya senang.
Maman, seorang lulusan SMA dengan seorang istri dan anak, masih berani menabur mimpi mendapat pekerjaan yang lebih baik dan halal. Aku sendiri, yang pendidikannya lebih tinggi, masih kerap diliputi bimbang ketika ingin keluar dari zona nyaman.
Ada semacam ketakutan Allah tidak membuka kran rezekinya dari pintu lain. Juga keengganan menerima perubahan yang bagi sebagian orang terasa melelahkan dan menyakitkan. Dari Maman, mataku dipaksa membuka lebar. Ternyata rezeki Allah itu tersebar. Tidak hanya di kantor tempat kita bekerja sekarang. Tetapi di pintu-pitu lain yang kerap kita tidak mengetahuinya dan menyangkanya. Karena, Dia, Pemilik Semesta, adalah Tuhan yang Maha Kaya. Kenapa kita masih meragukan pintu-pintu rezeki-Nya?
http://susansutardjo.blogdetik.com
http://nduksusan.blogspot.com
http://jendelasastra.com/susansutardjo

Tidak ada komentar: