Sabtu, 25 Juli 2009

Mengasong Hidup di Sudirman


Mataku nanar menyapu trotoar Jalan Sudirman. "Nenek kok tidak ada ya," ujarku cemas. Kekhawatiran sempat memenuhi pikiranku. "Jangan-jangan......." Tiba-tiba ada suara seperti memanggilku. "Nak Susan, lama ga kelihatan," ujar mbah Sulami, nenek pedagang asongan, sambil memarkan deretan giginya yang tinggal satu dua. "Alhamdulillah," kata batinku lega. Oalah...ternyata lokasi jualan mbah agak jauhan dari biasanya. "Mbah kira sudah pindah kantor Nak," imbuhnya kala aku menyalaminya.
Jumat pagi itu, seperti biasa mbah Sulami ngasong di trotoar Sudirman dekat Pasar Bendungan Hilir. Sebuah payung usang melindunginya dari sengatan matahari yang mulai terik. Dagangannya berupa tissue, air mineral, minuman ringan, dan rokok ditaruh dalam dua kardus. Kala sedang ngobrol denganku, ada seorang wanita kantoran membeli tissue.
"Mbah, gimana kabarnya," ujarku. "Alhamdulillah baik Nak," kata Mbah Sulami yang hidup sebatang kara di ibukota. Ia pun bercerita tentang dagangannya yang dicuri orang. "Kemarin ada yang ngambil sebungkus rokok Nak." "Mbah memang ke mana?" "Mbah lagi ke pasar sebentar,eh sebungkus rokok langsung hilang." "Sabar ya mbah," ujarku sok bijak dan menasehati...:p
Beberapa minggu ini, Mbah Sulami harus 'maen petak umpet' sama petugas Satpol PP. "Minggu kemarin Mbah sudah mau ditangkap Nak," ujarnya. "Terus, mbah gimana waktu mau ditangkap?" tanyaku. "Mbah nangis dan bilang ma petugas, kalau mau diangkut, angkut saja. Mbah ga selamanya di sini. Mbah bukan pengangguran. Mbah di sini nyari makan, Mbah ga mau nyusahin orang lain dan pemerintah." "Akhirnya mbah?" "Ya ga jadi Nak," ujarnya. Seminggu sebelumnya, kata Mbah Sulami, juga ada operasi. "Mbah sembunyiin dagangan mbah," tuturnya.
Aku ga bisa mbayangin, Mbah Sulami, nenek renta berusia 95 tahun harus bolak balik mindahin barang-barang dagangannya saat digelar operasi. Hatiku pun trenyuh. Tapi, aku mendapat pelajaran sangat berharga, sebuah perjuangan hidup. Di usianya yang hampir seabad, Mbah Sulami tetap tegar mengasong di jalanan untuk melanjutkan kehidupan. Tidak ada keluhan, mengapa ia harus menjalani hidup seperti sekarang. Pagi sampai sore berdagang asongan, malam tidur sendirian di los pasar Benhil Sudirman.
"Mbah, mbah ga mau pulang kampung, di sana lebih tenang dan aman buat mbah" ujarku lembut. "Mbah tidak punya siapa-siapa di kampung Nak," ujarnya tersenyum. Suami mbahsudah berpulang ke Sang Khalik, imbuhnya. Ia juga tidak punya anak. "Ada saudara. Tapi mbah ga enak kalo numpang, ga mau ngerepotin saudara," terangnya. Percakapan kami berlangsung sekitar 15 menit, karena aku harus kembali melanjutkan perjalananku. "Mbah, saya pamit dulu ya. Mbah baik-baik ya. Jangan lupa berdzikir dan sholat ya Mbah," ujarku sambil menyalaminya dan memberikan selembar daun.....eh uang. "Makasih banyak Nak Susan. Hati-hati di jalan ya," ujarnya tulus. Kembali Mbah seorang diri di antara hingar bingar kehidupan Metropolitan dan asap knalpot kendaraan. Mudah-mudahan Sang Pemilik Kehidupan selalu melindunginya dan memudahkannya dalam kesulitan hidup yang menderanya. Semoga.

Tidak ada komentar: